Oleh: Admin | 4 Juli 2010

Aliran filsafat ilmu dan manajemen pendidikan


Aliran Filsafat Ilmu dan Hubungannya dengan Penelitian dalam Manajemen Pendidikan

Oleh: Ali Rif’an

A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari sejarah peradaban manusia. Ia merupakan bagian dari epistemologi yang mengkaji hakikat ilmu pengetahuan yang mempunyai cara-cara tertentu. Tidak terkecuali sejarah filsafat ilmu yanng menurut Gie bersifat reflektif. Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan permasalahan yang tidak begitu komplek seperti saat ini. Sejarah ilmu pengetahuan mencatat bahwa perkembangan awal yang signifikan dalam ilmu pengetahuan dimulai sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih 600 SM). Di mana periode ini ditandai oleh pergeseran gugusan pemikiran (paradigm shift) dari hal-hal yang berbau mistis ke yang logis. Dari kepercayaan mistis yang irrasional terhadap fenomena alam menuju ke arah penjelasan logis yang berdasar pada rasio.
Persoalan sejarah ilmu pengetahuan tidak berhenti di situ saja, selanjutnya terjadi semacam saling tarik-menarik yang saling mendominasi antar berbagai ide pemikiran dalam memperjuangkan eksistensi ilmu pengetahuannya. Tujuan mulia ilmu yang beraras pada pencapaian kebenaran yang hakiki demi kepentingan kemaslahatan manusia itu sendiri menjadi semacam tonggak dasar dari munculnya perselisihan dinamika ilmu pengetahuan selanjutnya.
Sejak munculnya kembali paham teosentris (berpusat pada kebenaran wahyu) pada abad pertengahan, ilmuwan rasionalisme yang bersikukuh dalam pendiriannya terus berjuang untuk membebaskan diri dari mitos dan berusaha mengembalikan citra rasionalismenya. Pada zaman modern, semangat tersebut semakin bangkit setelah Rene Descartes (1596-1650 M) menyampaikan diktumnya yang terkenal “cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya pengetahuan, rasiolah sang raja pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, kredo, nilai dan lain sebagainya. Masa inilah yang kemudian melahirkan “Renaissance” (kelahiran kembali) dalam ilmu pengetahuan serta diikuti “Aufklarung” (pencerahan) yang menandakan bangkitnya ilmu pengetahuan dengan prinsip dasar rasionalisme, netralisme dan bebas nilai.
Dalam perjalanan ilmu pengetahuan dengan filsafat positivisme ini mendapat perlawanan yang cukup kuat terutama dalam penelitian studi-studi ilmu sosial. Dari sini muncullah aliran-aliran baru diantara yang paling berpengaruh adalah: aliran interpretivisme, aliran kritis, filsafat posmodernisme serta yang terahir muncul adalah aliran proheticisme dalam penelitian.
Tulisan ini berupaya mengangkat bagaimana penggunaan beberapa aliran filsafat di atas dalam kerangka peneitian dalam ilmu-ilmu sosial, terutama dalam manajemen pendidikan. Sehingga dengan menjadikan aliran-aliran tersebut sebagai landasan filosofis dalam penelitian akan dapat melahirkan pemahaman yang lebih komprehensif dan konstruktif ..

B. Filsafat Ilmu: Konsep Dasar dan Orientasinya
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata “philos” dan “shopia” yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata “philoshop” adalah Socrates. Menurut Harold Berman, keberadaan ilmu harus memenuhi tiga perangkat kreteria, antara lain yakni: Kriteria Metodologikal, Kriteria Nilai, dan Kriteria Sosiologikal. Karena itu, sifat dari ilmu adalah: rasional, empirik, sistematikal, umum dan terbuka, serta akumulatif.
Robert Ackermann mendefinisikan filsafat ilmu adalah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini, yang telah dibandingkan dengan pendapat-pendapat dahulu yang telah dibuktikan. Sedangkan Lewis White Beck menyatakan bahwa filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapakan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Cornelius Benjamin berpendapat bahwa filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan dan falsafti yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.
Obyek studi Ilmu Pengetahuan selalu berada di dalam sepuluh kategori. Kesemuanya itu dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu subtansi atau diri, aksidensia mutlak berupa kuantitas dan klualitas, aksidensia relative berupa hubungan [relation], tindakan [action], derita [passion], ruang [space], waktu [time], keadaan [situation], dan kebiasaan [habit]. Sedangkan Objek material atau pokok bahsaan filsafat ilmu, adalah ilmu pengetahuan, yakni suatu pengetahuan yangtelah disususn secara sistematis, dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, secara umum.
Ada suatu perbedaan yang jelas sekali antara, antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan saja, yakni pengetahuan bersifat umum, sedangkan ilmu pengetahuan, adalah pengetahuan yang bersifat khusus. Ciri dari ilmu pengetahuan yakni, sistematis, menggunakan metode ilmiah tertentu, serta dapat diujikan kebenarannya, sebagaimana pada alinea pertama pada bahasan objek material dan formal filsafat ilmu.
Secara umum manusia terlibat dengan pengetatuan, secara normal dengan perangkat indrawinya, akan tetapi seseorang dikatakan sebagai ilmuan apabila terlibat dalam aktivitas ilimah, secara konsisten, serta merujuk kepada prasyarat-prasyarat yang seharusnya dipenuhi seorang ilmuan.
Esensi filsafat ilmu atau lazim disebut dengan hakikat merupakan objek, adapun objek formal filsafat ilmu, adalah ilmu pengetahuan, adanya permasalahan-permasalahan mendasar, pada ilmu pengetahuan menjadi pusat perhatian, yakni berlandaskan pada ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Atas dasar hal di atas, maka tujuan dari filsafat ilmu paling tidak ada beberapa hal diantara yang terpenting adalah:
1. Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. sikap seorang ilmuwan mesti kritis pada bidang ilmuanya, sehingga terhindar dari sikap Solipsistik(tak ada pendapat yang paling benar).
2. Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Satu sikap yang diperlukan disini yakni menerapkan metode sesuai atau cocok dengan struktur ilmu pengetahuan, karena metode merupakan sarana berfikir, bukan merupakan hakikat ilmu pengetahuan.
3. Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan, secara logis atau rasional pengembangan metode dapat dipertanggungjawabkan, agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum. Validnya suatu metode ditentukan dengan diterimanya metode tersebut secara umum.

C. Beberapa Aliran Dalam Filsafat Ilmu dalam Kerangka Penelitian
1. Aliran Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Diantara ciri-ciri positivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang ‘bebas nilai’ atau ‘netral’ atau ‘objektif’. Inilah yang menjadi dasar prinsip filosofis pemikiran positivisme. Paham ini mencoba memberi garis demarkasi antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri di luar nilai. Dengan begitu subjek peneliti harus mengambil jarak dengan realita dengan bersikap imparsial-netral. Ciri lainnya adalah ‘mekanisme’, yaitu paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis seperti layaknya mesin.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Paham posistivisme di atas telah menjadi wacana filsafat ilmu yang sangat mendominasi pada abad ke-20. Hingga dari semakin pervasifnya dominasi tersebut, positivisme bukan hanya menjadi bagian dari paham filsafat ilmu, menurut Ian Hacking ia juga telah dianggap menjadi semacam agama baru karena ia telah melembagakan pandangan-pandangan menjadi doktrin bagi berbagai bentuk pengetahuan manusia, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bebas nilai, objektif, dan sekularismenya.
Perbincangan seputar paradigma ilmu bebas nilai, objektif dan netral yang diusung positivisme inilah yang dalam realita yang ada di kalangan ilmuwan, baik barat maupun Muslim, masih saja berpegang teguh pada paradigma tersebut dengan berbagai alasan, di samping juga ada yang menentangnya dengan beragam argumen yang melemahkan ide tersebut. Selain itu paradigma netralitas sain juga penting untuk dikaji karena pemahaman ini terkait dengan dengan pemahaman sain, di mana banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh sain. Paham bahwa sain itu netral atau terikat oleh nilai akan mempengaruhi hubungan cara kerja sain dan manusia itu sendiri.
Netralitas ilmu menekankan pentingnya objektifitas ilmu pengetahuan, mencoba meminimalisir subjektifitas diluarnya, bahkan berusaha untuk menghilangkan subjektifitas itu sendiri. Paradigma netralitas ilmu ini meyakini bahwa semakin objektif (terbebas dari nilai) ilmu pengetahuan semakin mendekati kebenaran (positif).
Paradigma netralitas ilmu atau bebas nilai ini pertama kali dianut serta dikembangkan oleh paham positivisme dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan. Paham ini memandang bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna. Objek-objek fisik hadir independen dari subjek dan hadir secara langsung melalui data inderawi. Data-data inderawi ini adalah satu. Apa yang dipersepsi adalah fakta sesungguhnya, tanpa melibatkan unsur diluarnya.
Sebuah masalah keilmuan harus dirumuskan sedemikian sehingga pengumpulan data dapat dilakukan secara objektif, bebas nilai dan netral. Objektif artinya bahwa data dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan tanpa ada hubungannya dengan karakterisktik individual dari seorang ilmuwan (Senn). Bebas nilai berarti dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral. Sedangkan netral berarti ilmu tidak memihak pada selain dirinya sendiri.
Untuk memperkokoh pandangannya tersebut, positivisme menetapkan syarat-syarat bagi ilmu pengetahuan, yaitu: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable) dan dapat di/ter-ramalkan (predictable). Dengan begitu objek ilmu pengetahuan harus berupa fakta-fakta empiri (semesta) yang hadir secara mandiri dan dapat diindera oleh subjek peneliti. Di mana itu berarti bahwa hal-hal yang tidak dapat diindera oleh manusia – sebagai subjek utama dari ilmu itu sendiri – tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya yang menyangkut metafisika.
Aliran filsafat yang sependapat dengan positivisme ini adalah positivisme logis, empirisme, realisme, essensialisme dan objektivisme. Aliran-aliran tersebut mendasarkan pandangannya pada prinsip-prinsip tertentu. Realisme misalnya memiliki prinsip mutlak sebagai berikut: 1) kita memersepsi objek fisik secara langsung, 2) Objek ini adanya tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi tertentu di dalam ruang, 3) ciri khas objek ini seperti apa adanya sebagaimana kita memersepsinya.
Contoh dalam penelitian Manajemen Pendidika adalah: Hubungan Antara Latar Belakang Ekonomi, Pendidikan dan Profesi Orang Tua Terhadap Out Put Siswa.

2. Aliran Interpretivisme
Para pendukung aliran positivisme berupaya menerapkan -atau bahkan memaksakan- metode penelitian ilmu-ilmu alam pada seluruh kenyataan, termasuk kenyataan sosial. Paradigma-paradigma peenelitian dalam ilmu-ilmu alam dengan metode “kuantitatif” diterapkan kepada ilmu-ilmu sosial seolah-olah tanpa persoalan. Namun justru itulah yang dewasa ini dipersoalkan secara serius di dalam diskursis metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial.
Bagaimana nasib penelitian ilmu sosial yang corak epistimologis dan metodelogisnya terhegemoni cara pandang positivistik? Pertanyaan tragis, ketika sesuatu yang bersifat konteks dan heterogen harus direduksi dengan data kuantitatif, diisolasi dengan konteks historis dan struktural, sehingga lahir kebenaran ilmiah. Padahal positivistik muncul dari metode ilmu alam yang bersandar pada prinsip verifikasi dan observasi. Ironisnya, metode ini menjadi model untuk hampir ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial.
Kajian ilmu sosial seharusnya tidak berhenti pada prinsip linier dalam mengungkap fenomena, tetapi harus diletakan pada wilayah sosial yang lebih luas sebagai bagian dari dialektika. Artinya seorang peneliti ilmu sosial tidak boleh berhenti pada fakta, namun harus menjelaskan makna di balik fakta. Jika dikaitkan dengan teks sebagai representasi fakta, maka haruslah diungkap konteks historis teks sehingga melahirkan pemahaman yang menyeluruh.
Interpretivisme adalah sebuah aliran sebuah airan filsafat yang lebih mengedepankan makna dan tidak mekanistik terutama aliran ini digunakan dalam konteks paradigma penelitian-penelitian sosial. Fenomenologi, sebagai perspektif teoritis atau pandangan filosofis yang berada di balik sebuah metodologi, dimasukkan oleh Michael Crotty ke dalam epistemologi konstruksionisme (interpretivisme) yang muncul dalam kontradistingsi dengan positivisme dalam upaya-upaya untuk memahami dan menjelaskan realitas manusia dan sosial.
Seperti penjelasan Thomas Schwandt, yang dikutip Crotty, “interpretivisme dianggap bereaksi kepada usaha untuk mengembangkan sebuah ilmu alam dari yang sosial. Perbedaan mendasar antara positivisme dan interpretivisme secara garis besar adalah sebagai berikut:

No Aspek Positivisme Interpretivisme
1. Jenis metodologi Kuantitatif Kualitatif
2. Obyek kajian Empiris Sensual Empiris Sensual
Ethics
Logic
Transendental
3. Fenomena
Sosial Behaviour Actions
4. Tujuan Menjelaskan Fenomena
(To explain) Memahami Fenomena
(To understand)
5. Setting Kausal
Memilih penyebab utama
Subyektivitas peneliti
Deduktif-Induktif
Induktif-Deduktif-Induktif Natural
Membuka semua kemungkinan penyebab
Obyektivitas peneliti
Induktif-Induktif
6. Obyek Penelitian Variabel
Operasionalisasi (final Konsep
Definisi (tentatif)
7. Instrument Dirancang Fix
Teruji Validitas & Reliabilitas
Obyektivitas lebih baik Tidak Fix (pedoman)
Tidak teruji validitas dan reliabilitas
Obyektivitas relatif
8. Sumber data Dirancang Fix
Teruji Validitas & Reliabilitas
Obyektivitas lebih baik Key Informan
Informan
Kasuistis
9. Alat analisa data Statistik Interpretasi
10. Pengembilan kesimpulan Kecenderungan data Kesempurnaan data
11. Implikasi Generalisasi Tidak digeneralisasi
12. Tehnik  Survey
 Eksperimen
 Observasi • Etnografi, menempatkan diri dalam kelompok yang sedang diselidiki.
• Semiotik, studi mengenai symbol dan arti yang disampaikan
• Wawancara yang mendalam
13. Asumsi 1. Rasionalitas konsumen mengambil keputusan setelah mempertimbangkan berbagai alternative.
2. Sebab dan akibat prilaku dapat dikenali dan dipisahkan Individu merupakan pemecah masalah yang terlibat dalampemrosesan informasi
3. Terjadi realitas tunggal
4. Persitiwa dapat diukur secara objektif
5. Penyebab prilaku dapat dikenali dengan memanipulasi sebab (yaitu masukan) pemasar dapat mempengaruhi prilaku(yaitu hasil)
6. Hasil riset dapat digeneralisasikan ke populasi yang lebih luas.
1. Tidak ada kebenaran tunggal dan objektif
2. Realitas adalah subjektif
3. Sebab dan akibat tidak dapat dipisahkan
4. Setiap pengalaman mengkonsumsi adalah unik
5. Interaksi peneliti/responden mempengaruhi hasil riset
6. Hasil riset sering tidak digeneralisasikan ke populasi yang lebih besar

14. Obyek Ilmu-Ilmu Alam Ilmu-Ilmu Sosial

Dengan demikian, ada beberapa hal yang mendasar dalam aliran intrepretivisme dalam metodologi penelitian, yaitu:
1. Interpretivisme lebih menekankan masalah makna dibalik fakta dalam aktivitas penelitiannya;
2. Interpretivisme melahirkan penelitian kualitatif’
3. Reaksi yang sama dalam penelitian, belum tentu karena ada stimulus yang sama. Hal ini karena obyek penelitian adalah manusia dan aktivitasnya.
4. Penelitian dalam pandangan interpretivisme tidak bisa dimekanistikkan sebagaimana dalam positivisme.
Contoh penelitian dalam Manajemen pendidikan adalah “Manajemen Strategik Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi”

3. Aliran Teori Kritis
Aliran teori kritis merupakan sebuah reaksi terhadap kegagalan yang ada dalam positivisme maupun interpretivisme karena kedua teori terahir ini dinilai hanya sekedar juru bicara dan menafsirkan keadaan. Penelitian ilmu sosial akan dapat bermanfaat jika dapat menberi manfaat secara nyata. Atau dengan kata lain, dalam metode penelitian teori kritis harus memberikan transformatif (perubahan) atas keadaan yang ada. Hal ini disebabkan karena peran ilmu sesungguhnya adalah untuk meneberikan perubahan itu. Teori ini muncul di Jerman dengan Mazhab Frankfrut.
Masuknya Mazhab Frankfurt ke dalam aliran pemikiran, memiliki arti terjadinya suatu pembalikan tradisi pemikiran sebelumnya, yaitu: positivisme maupun interpretivisme. Pemikiran Mazhab Frankfurt berusaha memperjelas secara rasional kehidupan manusia moderen dan melihat akibat-akibatnya dalam kemanusiaan dan dalam kebudayaan, serta mengkritisi pemikiran-pemikiran abad ke-18 berkaitan dengan penerapan positivisme, masa pencerahan (aukflarung) yang menjadikan manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri, tapi diperbudak oleh mesin, sehingga tidak bebas dan merdeka.
Positivisme sebagai paham keilmuan meyakini puncak ilmu pengetahuan manusia adalah ilmu berdasarkan fakta-fakta keras (terukur dan teramati), dan ciri-cirinya antara lain: pertama, ilmu adalah bebas nilai; kedua, pengetahuan yang absah hanya pada fenomena semesta. Metafisika yang mengandaikan sesuatu di belakang fenomena ditolak mentah-mentah; ketiga, semesta direduksi menjadi fakta yang dapat dipersepsi; keempat, paham tentang keteraturan peristiwa di alam semesta yang menisbikan penjelasan di luar ketentuan tersebut; kelima, semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin. Mazhab Frankfurt tidak bersepaham dengan pandangan ini. Mazhab Frankfurt memandang ilmu pengetahuan moderen yang dilatar-belakangi saintisme atau positivisme sudah menghasilkan masyarakat yang irrasional, ideologis dan terasing.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu5. Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant.
Atas dasar hal itulah, sasaran dari teori kritik adalah Budaya barat dengan masyarakat kapitalis yang menjadikan ilmu (termasuk juga agamaI sebagai alat) untuk mencapai tujuannya. Di samping itu, modernitas yang membawa dampak bencana kemanusiaan. Saat ini manusia modern yang mengandaikan pencerahan nyatanya sudah kehilangan kekritisannya dan seolah-olah hanya berpijak pada satu nilai dimensi kebenaran. Kebenaran itupun adalah kebenaran positivisme yang absurd, karena mengagungkan aspek fungsional belaka dan tak melihat substansi yang ada di dalamnya.
Akibatnya, manusia dalam aspek ilmu pengetahuan, seni dan filsafat, pemikiran dan laku sehari-hari, sistim politik, ekonomi dan penerapan teknologi hanya berjalan di permukaan belaka, sehingga tidak pernah merasakan ada yang tidak beres dengan kehidupan yang mereka jalani. Mereka seolah-olah sudah merasa nyaman dengan satu dimensi dari kehidupan moderen mereka, yang sejatinya tidak dipungkiri adalah bibit-bibit bencana baginya, lingkungan dan sesamanya itu, juga ancaman bagi generasi-generasi mereka selanjutnya.
Sekema tujuan dari teiri kritis adalah sebagai berikut:

Contoh dalam penelitian manajemen pendidikan adalah “Aplikasi teori “sosiologi Profetik” dalam Meningkatkan Kinerja Kepala Sekolah.”

4. Aliran Postmodernisme
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme: for begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa pemakaian pertama istilah ”postmodernisme” adalah sebelum tahun 1926. Pada 1870-an istilah tersebut pertama kali digunakan oleh seniman Inggris, John Watkins, dan pada 1917 oleh Rudolf Panwitz. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu: Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme. Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru.
Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing.
Bahwa salah satu dari elemen utama dari postmodernisme adalah constructedness of reality and hence the inaccessibility of the Real. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Bahkan Briyan S. Turner mengatakan bahwa postmodernisme menyarankan visi baru keadilan yang memberikan kedukukan tinggi pada perbedaan, heterogenitas, paradoks dan kontradiksi dan pada pengetahuan lokal.
Dalam pandangan teori ini, tidak ada budaya (lokal) yang sederhana. Semuanya bersifat kompleks. Karena itu, pengetahuan menurut paham ini adalah sejarah. Gema yang muncul kemudian adalah universalisme yang pada ahirnya melahurkan relativisme yang memandang bahwa kebenaran ada dalam dirinya. Ide yang muncul ke permukaan terutama pada era sekarang ini yang merupakan berpangkal dari teori postmodernisme diantaranya adalah masalah gender, liberalisme, pliralitas, dan lain sebagainya.
Contoh dalam konteks penelitian manajemen pendidikan adalah ” Aplikasi Semboyan ki Hadjar Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani” dalam Manajemen Kepemimpinan di Madrasah”

5. Aliran Propheticisme
Aliran teori ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa realitas, pengeahuan dan nilai adalah sesuatu yang satu (utility) yang masing-masing tidak dapat dipisahkan. Pengetahuan pada dasarnya adalah menemukan kembali yang tersimpan dalam benih (esensinya). Namun, pada kenyataannya, kita tidak akan pernah tahu tentang apa yang akan terjadi besok.
Karena itulah, dalam prespektif propetik antara yang absolut dan yang relatif adalah dua sisi mata uang. Kombinasi dari alur pemahaman inilah yang kemudian yang menjadi kajian propheticism, yakni adanya utility antara masyarakat-negara, individu-masyarakat, pengetahuan-agama, dan lain sebagainya.
Pengetahuan manusia akan sesuatu adalah terbatas, ini adalah Ideal form (dengan “I” huruf besar) dan ideal form (dengan “i” huruf kecil). diantara keduanya terjadi interaksi yang harmonis (harmonic interaction) karena semuanya adalah satu, manunggal, utility. Manunggal antara manusia dan lingkungannya, manusia dan manusia lain, manusia dan alam, manusia dan dirinya sendiri serta manusia dan Tuhan.
Dengan demikian, Aliran propetic adalah mencoba mengadopsi pengalaman-pengalaman mistik atau yang dikandung dalam pesan yang dibawa oleh Utusan (rasul) dalam kerangka ilmiah. Paradigma yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial selama ini tidak efektif karena tidak ada muatan transformatif keilmuannya. Sebuah ilmu (sosial) hanya bersikap diam dan observatif ketika diperhadapkan dengan realitas obyek penelitiannya. Prinsip-prinsip yang dibangun dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik berangkat dari penterjemahan secara ilmiah terhadap bunyi sebuah teks ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imron, 3 : 110). Ada beberapa term filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu “masyarakat utama” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat linnas), “liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan “transendensi” (al-iman billah). Adalah “keberanian”.
Yang ingin diambil oleh teori ini adalah sisi “realitas kenabian” (prophetic reality) yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat manusia. Muhammad Iqbal, dengan mengutip ucapan Abdul Quddus, seorang sufi besar Islam dari Ganggoh, mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan “kesadaran kreatif” (creative consciousness) dalam menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sejarah. Artinya, kemunculan Nabi di muka bumi telah memasukkan unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar kehidupan duniawi. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia. Filsafat profetik melandaskan dirinya pada prinsip untuk melakukan perubahan sosial yang berangkat nilai profetika dengan kerangka pemikiran sosiologi yang multi paradigmatik.
Contoh dalam penelitian manajemen pendidikan adalah “Penerapan Kepemimpinan yang Islami Dalam Mewujudkan Sekolah Religius”

D. Penutup
Pesona modernitas yang mengalami nihilisme makna kehidupan, sudah saatnya sosiologi profetik mengembangkan kerangka kerja ilmiah untuk melanjutkan usaha-usaha yang dilakukan para Nabi. Filsafat profetik hanyalah salah satu model alternatif, yang tidak mengenal kata akhir proses pencarian dalam upaya memahami masyarakat dengan baik. Karena hanya dengan keberanian akademik kita maju melangkah ke depan. Yang akan kita usung adalah “kesadaran aktif sejarah” untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah yang adil dan manusiawi, dengan berangkat dari tiga unsur pembentuk kesadaran, yaitu emansipasi, liberasi, dan transedensi. Tugas yang sangat berat adalah bagaimana mengembangkan kemampuan daya pikir ilmiah dan kritis dalam memahami realitas yang dihubungkan dengan spirit keagamaan dan kenabian. Dan itu menjadi agenda penting dalam gagasan ini selanjutnya.
Namun, beberapa kerangka filosofis paradigmatik sebagaimana di sebut diatas merupakan “jalan” unuk mencapai kebenaran dan kesejahteraan bagi semua mahluk. Tidak terkecuali dalam kajian manajemen Pendidikan, kanena dengan memanfaatkan bererapa kerangka paradiknatik-metodologis itulah, maka penelitian dalam manajemen pendidikan akan lebih fariatif dan “indah”. Semoga.


Tanggapan

  1. makasih banyak infonya,,,sangat bermanfaat,,,salam hangat,,,

    • sama2 semoga berkah


Kategori