Oleh: Admin | 3 September 2013

INTERRELASI AGAMA DAN ILMU


INTERRELASI AGAMA DAN ILMU

(Prespektif dan Kritik Islam terhadap Sains Modern sebagai upaya Mempertemukan Dikotomi Ilmu Pengetahuan)

  1. A.      Pendahuluan

Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari sebuah kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]

Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt telah kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.[2]

Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.[3]

Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Bukan masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.[4]

Pada masa klasik diskursus keilmuan Islam mencapai tingkat yang tinggi sehingga kemudian dapat disumbangkan pada berkembangnya ilmu pengetahuan di masa-masa sesudahnya. Yang demikian ini disebabkan oleh adanya beberapa hal, yang di antaranya motivasi internal Islam sendiri,[5] untuk menuntut ilmu dengan tanpa batasan waktu. Beberapa wahyu (nash) penting mengenai ilmu telah menjadikan alasan bagi dukungan dan respon Islam terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Oleh sebab itu, tak heran jika tradisi keilmuan dalam Islam lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya.[6]

Hal serupa yang tak dapat dielakkan adalah adanya faktor eksternal, yaitu terjadinya kontak antara orang-orang Islam dan kalangan non-Islam atau lebih tepatnya dengan kebudayaan lain yang jauh lebih maju jika dibandingkan dengan kebudayaan yang dimiliki Islam sendiri, seperti di Bizantium, Persia, dan India.[7] Stabilitas sosial, ekonomi, dan politik.[8] setelah kaum muslimin dapat mengembangkan kekuasaannya ke daerah-daerah sekitarnya juga turut menyumbangkan semaraknya kondisi keilmuan ini. Kecuali yang telah dikemukakan, sikap terbuka dan toleransi kaum muslimin untuk mempelajari dan menerima budaya-budaya taklukan dan daerah lainnya ikut andil dalam menyemarakkan ilmu pengetahuan di lingkungan Islam.

Perhatian terhadap ilmu pengetahuan di kalangan Islam telah terjadi sejak dini; al-Haris bin Qaladah, sahabat Nabi, misalnya telah belajar kedokteran di Jundishapur, sedangkan Khalid bin Yazid dan Ja‘far al-Shadiq mempelajari ilmu Kimia.[9] Adapun ilmu yang dikembangkan Islam tidak mengenal dikotomi dan diskriminatif, tetapi mencakup aneka ragam ilmu pengetahuan alam, humaniora, dan social bahkan pada matematika dan juga kedokteran. Keilmuwan yang dibangun oleh para ilmuwan muslim dengan berbagai keilmuwan yang dikuasai tidak lepas dari landasan keimanan (tauhid) yang kuat pada dirinya. Prinsip tauhid di dalam Islam, menegaskan bahwa semua yang ada berasal dan atas izin Allah SWT.  Konsep yang mengatakan bahwa Allah SWT lah yang mengajarkan manusia disebutkan dalam Al-Quran (2:31, 55:2, 96:4-5, 2:239). Di dalam ayat lain 5:1-4 disebutkan bahwa “Dia telah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia dan mengajarinya penjelasan (bayan)”.

Awal  munculnya  ide  tentang  integrasi  keilmuan  dilatarbelakangi  oleh  adanya dualisme  atau  dikhotomi  keilmuan  antara  ilmu-ilmu  umum  di  satu  sisi  dengan  ilmu-ilmu  agama  di  sisi  lain.  Dikhotomi  ilmu  yang  salah  satunya  terlihat  dalam  dikhotomi institusi  pendidikan—antara  pendidikan  umum  dan  pendidikan  agama—telah berlangsung  semenjak  bangsa  ini  mengenal  sistem  pendidikan  modern.[10]  Dikhotomi keilmuan  Islam  tersebut  berimplikasi  luas  terhadap  aspek-aspek  kependidikan  di lingkungan  umat  Islam,  baik  yang menyangkut  cara  pandang  umat  terhadap  ilmu  dan pendidikan,  kelembagaan  pendidikan,  kurikulum  pendidikan,  maupun  psikologi  umat pada umumnya.

Dampak  yang  tidak  kalah  seriusnya  dari  dikotomi  keilmuan  antara  ilmu-ilmu  agama  Islam  di  satu  sisi  dengan  ilmu-ilmu  di  sisi  lain  adalah  terhadap  kerangka filsafat  keilmuan  Islam.  Kendati  dikotomi  keilmuan  Islam  telah  terjadi  semenjak beberapa  abad  yang  lampau,[11]  namun  dampaknya  terhadap  kerangka  filsafat  keilmuan Islam  dirasakan  semakin  serius  pada  masa-masa  kemudian.  Salah  satu  kerangka keilmuan  Islam  yang  kurang  “lazim”  bila  dibandingkan  dengan  kerangka  filsafat keilmuan  “sekuler”  adalah  kurang  dikenalnya  konsep  paradigma,  normal  science, anomali,  dan  revolusi  sains.[12] yang selama  ini  “mengatur”  perkmebangan  dan pertumbuhan  sains  modern.  Kerangka keilmuan  Islam  justru  dihinggapi  romantisime yang menjadikan masa  lalu  justru  sebagai  kerangka  utama pola berpikir umat  Islam. Romantisisme dalam arti yang sederhana memang diperlukan, terutama untuk menghindari terjadinya proses pencabutan pemikiran kontemporer dengan sejarah keilmuan masa lampau.  Tetapi  apabila  romantisisme  mendominasi kerangka  berpikir  keilmuan  umat  Islam,  maka  dinamika  dan  revolusi  keilmuan  Islam tidak akan pernah terwujud.

Implikasi  lain  dari  dikotomi  keilmuan  terhadap  kerangka  filsafat  keilmuan Islam  adalah  berkembangnya  pemikiran  yang  mempertentangkan  secara  diametral antara  rasio  dan wahyu  serta  antara  ayat-ayat  qauliyah  dengan  ayat-ayat  kauniyah. Di kalangan  umat  Islam  berkembang  pemikiran  bahwa wahyu  adalah  sumber  utama  ilmu sembari mendiskriminasikan  fungsi  dan  peran  rasio  sebagai  sumber  ilmu. Di  kalangan umat  Islam  juga  berkembang  suatu  kesadaran  untuk  menjadikan  ayat-ayat  qauliyah sebagai  objek  kajian  pokok,  tetapi  mengabaikan  ayat-ayat  kauniyah  yang  justru menyimpan begitu banyak misteri dan mengandung khazanah keilmuan yang kaya.[13]

Menyadari bahwa dampak dualisme atau dikotomi keilmuan Islam telah begitu besar,  para  pemikir  Muslim  mulai  menggagas  konsep  integrasi atau bahkan  keilmuan  Islam,  yang mencoba  membangun  suatu  keterpaduan  kerangka  keilmuan  Islam,  dan  berusaha menghilangkan  dikotomi  ilmu-ilmu  agama  di  satu  pihak  dengan  ilmu-ilmu  umum  di pihak lain. Namun, konsep ini pun menghadapi kondisi dimana dunia Barat dengan system dan struktur keilmuwannya yang sudah mapan sangat sulit untuk digoyahkan.

Atas dasar hal di atas, maka diperlukan suatu formula yang dapat menjadi jembatan idealisme intelektual Islam pada abad pertengahan dengan segala keagungan ajaran dan keilmuwannya dan kenyataan bahwa saat ini Barat-lah yang telah memiliki dominasi sains modern yang mapan dengan segala dampak yang ditimbulkan. Konsep, klasifikasi dan akar-akar pengetahuan pada periode pertengahan, kritik Islam terhadap ilmu Modern; Al qur’an dan Filsafatnya mengenai ilmu serta model interrelasi merupakan sebuah tawaran yang mencoba dicari formulasinya dalam tulisan ini.

  1. B.       Prespektif Islam Abad Pertengahan tentang Ilmu

Sejarah perkembangan peradaban Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: priode klasik (650 -1250 M), priode pertengahan (1250 – 1800 M) dan priode modern (1800 – sekarang).[14] Namun, dalam pandangan Mehdi Nakotseen, abad pertengahan adalah antara 750 – 1350 M. [15] pada abad ini, spirit skolatikisme muslim yakni berupaya menyelaraskan akal dengan agama dalam pola pendidikan, pengetahuan skolastik, logika dan metode yang dilakukan untuk mempertemukan pengetahuan sekuler dan dogma religious.  Suatu sebab yang menjadikan Islam dapat menghasilkan Ilmu yang begitu banyak dan varian dalam waktu singkat yang kemudian menjadi steril sedemikian cepat dapat diketahui melalui sifat dasar skolatikisme Islam. Bersifat kreatif dan dinamus di satu sisi tetapi juga reaksioner dan finalistic di sisi lain. [16]

1)      Konsep Pengetahuan

Dalam membahas konsep ilmu pengetahuan dalam ranah filsafat, epistemology merupakan pembahasan yang secara khusus membahas tentang ilmu pengetahuan. Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian epistemologi berakar dari episteme, yang bermakna pengetahuan. Epistemology diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan, dan bagaimana memperolehnya.[17] Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan.[18] Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.  Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.[19]

Dalam menjelaskan ilmu secara terminology, al-Attas menggunakan dua definisi, pertama, ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada makna sesuatu atau obyek ilmu.[20] Hal ini berimplikasi ilmu itu mencakup semua hal.

Selain kata ilmu, ada kata lain yang sering disamaartikan dengan ilmu, yaitu sains. Pada kenyataannya, keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya keduanya memang berbeda. Dalam menjelaskan definisi sains, Mulyadi kartanegara mengutip Kamus Webster’s New World Dictionary, sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau dari sesuatu yang dikaji.[21]Definisi ini dari hari ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakins sempit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala obyek pengetahuan, baik itu fisik, metafisik, maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian fisik empirik saja, tanpa menghiraukan adanya entitas-entitas metafisika yang merupakan bagian dari epistemologi. Dari pembatasan ini, akan muncul anggapan bahwa sains adalah kajian yang langsung bisa dibuktikan dengan kongkrit dan jelas, dan itu hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik saja. Di sinilah letak kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi keilmuan Barat.[22]

Menurut al-Ghazali, terdapat empat kelompok manusia pencari kebenaran. Masing-masing kelompok  mempunyai ciri-ciri khas sendiri. Pertama, kelompok  mutakallimun (ahli teologi), yaitu mereka yang mengakui dirinya sebagai eksponen pemikir intelektual (ra’y) dan nazar. Menurut pandangan ini, hakikat pengetahuan dapat diperoleh melalui penyelidikan. Kedua, kelompok bathiniyah, terdiri dari para pengajar yangmempunyai wewenang (ashab al ta’lim) menyatakan bahwa hanya merekalah yang mendapat kebenaran yang datang dari seorang guru yang memiliki pribadi sempurna. Ketiga, para filosof yang menyatakan diri sebagai kelompok logikus (mantiq) dan burhan, dan orang yang dapat menjangkau kebenaran melalui logika tersebut. Dan keempat adalah kelompok sufi yang menyatakan bahwa hanya merekalah yang dapat mencapai tingkat kebenaran terhadap Allah melalui penglihatan (musyahadah) dalam pengertian secara bathiniah dan pembukaan tabir (mukasyafah)dan dengan kedua hal itulah hakikat pengetahuan dapat diraih. [23]

Al Kirmani dalam Hunzai mendefinikan knowledge dan ‘ilm sebagai sesuatu yang rumit. ‘Ilm dengan “ to find out things according to their term” (untuk menemukan sesuatu sesuai dengan bentuknya (term)”.[24] Ia mengkategorikan eksistensi pengetahuan kedalam fisik dan non fisik. Yang dhohir dengan yang batin. Semua ilmu yang berkembang dalam Islam (secara umum ilmu-ilmu alam dan kosmologi yang berkembang pada zaman pertengahan) menunjukkan kepada suatu kesatuan yang saling berhubungan. Karena itu, di dalam memandang kesatuan alam atau kosmos, seseorang harus mengakui pula asas ketuhanan.[25]

2)        Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana dikemukakan Nash, berbagai cabang ilmu dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan dipandang dari perspektif Islam pada akhirnya adalah satu. Dalam Islam sebenarnya tidak dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dengan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki tertentu, tetapi hierarki itu pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang Hakikat Yang Maha Tunggal yang merupakan substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim ke dalam hierarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Dan ini pulalah alasan kenapa para ulama, pemikir, filosof, dan ilmuwan Muslim sejak dari Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, sampai Al-Ghazali, Nashir Al-Din Al-Thusi, dan Mulla Shadra sangat peduli dengan klasifikasi ilmu-ilmu.[26]

Klasifikasi ilmu yang diberikan para ahli bukan bertujuan untuk medikotomi ilmu yang pada perkembangannya lebih banyak menimbulkan mudhorot daripada kemaslahatan dalam kehidupan manuasi itu sendiri. Klasifikasi ilmu sendiri dimaksud untuk lebih mempermudah manusia dalam mempelajari ilmu agar manusia memiliki keahlian tertentu dalam disiplin keilmuan, tapi tidak menafikkan ilmu lain sehingga terjadi keseimbangan dalam dirinya yang membawa kemanfaatan.

Dasar epistimologis yang digunakan cukup kuat. Selama ini, telah muncul pandangan dan keyakinan bahwa Islam menuntun agar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dilakukan secara utuh, yaitu bersumberkan pada ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan sekaligus ayat-ayat kauniyah (hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis). Kedua sumber itu harus dipandang sama pentingnya. Melalui al-Qur’an, umat manusia disuruh untuk memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bumi dihamparkan, langit ditinggikan, dan bagaimana gunung ditegakkan. Perintah seperti ini adalah sangat erat terkait dengan pengembangan sains yang bermanfaat untuk membangun sebuah peradaban.[27]

Berikut adalah klasifikasi ilmu pengetahuan oleh beberapa ilmuwan Muslim:

a)             Klasifikasi Al Farabi[28]

Al-Farabi menyitir tiga kriteria yang menyusun hierarki ilmu. Pertama, kemuliaan materi subjek (syaraf al-maudhu’), berasal dari prinsip fundamental ontologi. Kedua, kedalaman bukti-bukti (istqsha’ al-barahin), didasarkan atas pandangan sistematika pernyataan kebenaran dalam berbagai ilmu yang ditandai perbedaan derajat kejelasan dan keyakinan (basis epistemologi). Selama  gagasan tentang kedalaman bukti berhubungan secara langsung dengan permasalahan metedologis, kriteria kedua dapat dianggap menetapkan basis metodologis penyusunan hierarki ilmu. Kertiga, tentang besarnya manfaat (’izham al-jadwa) dari ilmu yang bersangkutan (basis etis).[29]

Klasisifikasi ilmu menurut Al Farabi secara garis besar terbagi menjadi 5 hal yakni: 1). Ilmu Bahasa (syntac, grammer, pronounciation and speech dan puisi); 2). Logika; 3). Ilmu propaedetik yang terdiri dari ilmu aritmatic, geometri, optik, astrologi, music, astronomi, dll; 4).ilmu fisika (kealaman) dan metafisika; 5). Ilmu Sosial yakni Yurisprudensi dan retorika.[30] Sedangkan menurut Oesman Bakr, klasisifikasi imu Al Farabi dapat dibagankan sebagai berikut:[31]

 

 

Bagan 1 : Klasifikasi Ilmu Al Farabi

 

b)   Klasifikasi Ibnu Khaldun.

Nama lengkapnya adalah Waliyuddin ’Abd al Rahman Ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Khaldun. Dia lahir di Tunisia tanggal 1 Ramadhan 732 H / 27 Mei 1333M  dan wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H / 19 Maret 1406M.[32] Namanya adalah Abdurrahman, Kuniyah-nya (nama panggilan) dari nama panggilan keluarga yaitu Abu Zaid, laqob-nya (gelar) adalah Waliyuddin, dan panggilan terkenalnya adalah Ibnu Khaldun.[33] Ia adalah Sejarawan Muslim, Filosof, ekonom, politisi dan juga seorang pendidik, dari semua prediket yang diberikan, Ia lebih dikenal sebagai Bapak Ilmu Sejarah dan salah satu peletak ilmu sosial.

Beliau memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk yang pertama adalah ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf, dan ta’bir al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika, dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.[34]

Pandangan Ibnu Khaldun berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris.[35] Melalui pendekatan ini memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Pemikiran Ibnu Khaldun yang demikian, Menurut Andi Hakim layak disebut sebagai Sains Falsafiyah yang telah dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626 M) dua setengan abad kemudian.[36] Dan sebagai seorang Ilmuwan, Ibnu Khaldun berhasil membuat pemikiran sintesis antara aliran pemikiran idealisme dengan aliran realisme.[37] Perpaduan antara kedua pemikiran inilah yang pada saat ini disebut dengan Metode Ilmiah. Atau dengan kata lain, corak pemikiran Ibnu Khaldun dapatlah dikatakan “sangat Modern” pada masanya. Menurut Muhammad Iqbal, Ibnu Khaldun adalah satu-satunya muslim yang telah memasuki dunia tasawwuf yang sepenuhnya berjiwa ilmiah.[38]

Bila kita lihat pengelompokan di atas, barangkali bisa disederhanakan menjadi: 1). Ilmu aqliyah , dan 2). Ilmu naqliyah.  Dalam penjelasan selanjutnya Ibnu Khaldun menyatakan:

“Kelompok pertama itu adalah ilmu-ilmu hikmah dan falsafah. Yaitu ilmu pengetahuan yang bisa diperdapat manusia karena alam berpikirnya, yang dengan indra—indra kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek-objeknya, persoalannya, segi-segi demonstrasinya dan aspek-aspek pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikannya itu menyampaikan kepada mana yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia berpikir. Kedua, ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i. Ilmu itu secara keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat konvensi syara “ [39]

 

Dalam klasifikasipertama, iaitu al-Ulum` al-Hikmiyyah al-Falsafiyyah (akal) terdapat beberapa jenis ilmu, yaitu :(1) Logika; (2) Ilmu-ilmu alam atau fisik meliputi pengobatan, pertanian, (3) ilmu yang diluar ilmu alam atau meta fisik seperti  ilmu sihih,  alchemy, dan3) ilmu yang ada kaitannya dengan data kuantitatif; sedangkan pada pembagian ke dua adalah yang ditransmisikan yakni: Al qur’an dan tafsirnya, hadits dan tafsirnya. fiqih, teolog, sufi (tasawuf), dan Ilmu bahasa (grammer, lexicography dan literature).[40]

c)    Klasifikasi Imam Al Ghazali [41]

Selain Ibnu Khaldun, sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua jenis, ‘ilm syar’iyyah dan ‘ilm ghair syar’iyyah.[42] Yang pertama digolongkan sebagai ilmu fardhu ‘ain untuk menuntutnya, sedangkan yang kedua sebagai ilmu fardhu kifayah. Sekalipun al-Ghazali membedakan antara keduanya dalam hal penuntutannya, beliau menggunakan konsep integral dalam memandang ilmu secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat dari penggolongan kedua ilmu tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.

Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah artikulasi terbaik mengenai epistemologi ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam karya Imam abu Hamid Muhammad al Ghazali (1058-1111). Al Ghazali adalah seorang guru besar akademi Nizamiyah Baghdad. Al Ghazali menganalisis pengetahuan berdasarkan tiga kriteria, yaitu:[43]

  1. Pengetahuan dilihat dari sumbernya[44]
  2. Pengetahuan dilihat dari sisi kewajiban melaksanakannya[45]
  3. Pengetahuan dilihat dari fungsi sosialnya.[46]

Secara bertingkat, Al Ghazali melihat bahwa ilmu pengetahuan tidak saja hanya dapat dilihat dari nilai manfaatnya, melainkan juga dari kewajiban mempelajarinya. Di sini tampak kecenderungan al Ghazali untuk mengemukakan nilai-nilai tanggung jawab individu dan masyarakat secara hukum. Pemikiran ini setidak tidaknya akan memberi dorongan kepada masyarakat untuk menguasai ilmu pengetahuan. Al Ghazali berpendapat bahwa ilmu sebagai obyek tidak bebas nilai. Setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari harus dikaitkan dengan nilai moral dan nilai manfaat. Karena itu selanjutnya ia melihat ilmu dari sudut pandang nilai dan membaginya menjadi dua kelompok.[47] Pembagian yang didasarkan atas nilai manfaat bagi yang mempelajarinya dan bagi kepentingan masyarakat ini akan dipaparkan dalam table berikut:

Bagan 2 : Klasifikasi Ilmu menurut Al Ghazali

d)   Klasifikasi Quthb Al Din Al Syirazi

Seperti Al-Farabi, Ibnu Khaldun dan Al-Ghazali, Quthb Al-Din Al-Syirazi mempunyai minat universal pada hampir setiap cabang ilmu di samping filsafat dan teologi.Dia menghasilkan banyak karya tulis tentang kedokteran, geometri, optika, astronomi, geografi, ilmu bahasa, filsafat dan ilmu-ilmu religius termasuk komentar-komentar atas Al-Qur’an. Berdasarkan bibliografi-bibliografi tradisional, ditetapkan ada sekitar lima puluh risalah yang dinisbahkan kepada Quthb Al-Din Al-Syirazi termasuk beberapa syair yang ditulisnya dalam bahasa arab maupun Persia.[48]Tetapi dalam bidang ilmu dan filsafat, ada beberapa karya ensklopedik atas namanya.Dalam abad-abad berikutnya karya-karya ini menjadi salah satu di antara yang paling banyak dibaca di dunia Islam. Karya-karya ini juga merupakan sumber yang sangat diperlukan bagi pemahaman akan perkembangan ilmu dan filsafat Islam kemudian.

Penulis mencoba menggolongkan tulisan-tulisan Quthb Al-Din Al-Syirazi menurut klasifikasi ilmu yang telah dikemukakannya dalam Durrat al-Taj.Dalam Durrat al-Taj, Quthb Al-Din Al-Syirazi membagi pengetahuan menjadi dua jenis, yakni yang filosofis (al-hikmi) dan yang non filosofis (ghair al-hikmi).Selanjutnya kategori kedua dibagi menjadi yang religius dan yang non religius.

Konsep kunci dalam klasifikasi Quthb Al-Din Al-Syirazi adalah hikmah (filosofi atau filsafat). Perbedaan antara bentuk hikmah dan bentuk bukan hikmah pengetahuan merupakan basis dasar klasifikasinya. Karena itu, beberapa penjelasan atas pandangan Quthb Al-Din Al-Syirazi mengenai hikmah, sangat diperlukan jika kita hendak memahami landasan filosofis klasifikasinya.

Menurut Quthb Al-Din Al-Syirazi, pandangan bahwa hikmah (kebijaksanaan) merupakan bentuk pengetahuan tertinggi dan termulia dianut oleh segenap kaum Muslim. Dalam Durrat al-Taj, dia mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk memperlihatkan bahwa kepercayaan kaum Muslim pada keunggulan hikmah memperoleh dukungan eksplisit dan kuat dalam wahyu Islam.[49] Tetapi, kita sama-sama mengetahui bahwa definisi hikmah maupun perbedaan dari sesuatu yang bukan hikmah masih menjadi perdebatan di kalangan kaum Muslimin karena tidak ada ayat Al-Qur’an maupun hadist Nabi yang memberikan jawaban eksplisit untuk persoalan ini. Karena alasan tersebut, Quthb Al-Din Al-Syirazi menjelaskan bahwa dalam pemahamannya tentang hikmah dia mengikuti tradisi ahl ma’rifah (arti harfiah: orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang benar).

Berikut ini adalah klasifikasi ilmu menurut al Sirazi:

 

 

 

 

Bagan 3 : Klasifikasi Ilmu Quthb Al-Din Al-Syirazi

Dari pembagian ini, bisa kita simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya meliputi ilmu-ilmu ‘aqidah dan syari’ah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah, yang bisa disebut dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair syra’iyyah, kita akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini, yang disebut dengan tafakkur.

Berdasarkan pembagian ilmu yang telah disebutkan sebelumnya, secara garis besar objek ilmu dapat dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu alam materi dan non-materi. Sains mutakhir yang mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di alam materi. Oleh karena itu, objek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapan yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggadaan, variasi terbatas, dan pengalihan antarbudaya.

 Obyek ilmu dalam Islam -sebagaimana telah disinggung di atas-tidak hanya terbatas pada kajian fisik empirik saja,  tetapi mencakup alam materi dan nonmateri, karena itu, sebagian ilmuwan Muslim-khususnya kaum sufi melalui ayat-ayat Al-Quran- memperkenalkan ilmu yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-Khams (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud. Kelima hal tersebut adalah: (1) alam nasut (alam materi), (2) alam malakut (alam kejiwaan), (3) alam jabarut (alam ruh), (4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan (5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).[50]

Tentu ada tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang kelima hal tersebut. Dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Nahl [16]  ayat 78:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai dengan petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan).

 

Dan juga di dalam surat Al-Israa’ [17] ayat 36

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا  

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

 

Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu; pendengaran, mata (penglihatan), dan akal serta hati dalam mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan. Trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan (probability) merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung juga oleh Al-Quran, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir tentang alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya kendatipun hanya berkaitan dengan upaya mengetahui alam materi.[51] Seperti yang ada pada:

a)      Q.S. Yunus [10]: 101

قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا تُغْنِي الآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لا يُؤْمِنُونَ    

Katakanlah: “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”.

 

b)      Q.S. Al-Ghasyiyah [88]: 17-20

أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿17﴾ وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿18﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿19﴾ وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿20﴾

Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung-gunung ditancapkan, dan bagaimana  bumi  dihamparkan?

 

c)      Q.S. Al-Syu’ra’ [26] : 7

أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الأرْضِ كَمْ أَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ

Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapakah banyak Kami tumbuhkan di bumi itu aneka ragam tumbuhan yang baik?

 

d)     Q.S. Yusuf [12] : 109

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ الآخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا أَفَلا تَعْقِلُونَ

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?

 

e)      Q.S. Al-Ankabut [29] : 20

قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  

Katakanlah (hai Muhammad): “Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi (membangkitkannya sesudah mati kelak diakhirat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari ayat-ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk memahami suatu ilmu, Al-Quran telah memberikan suatu metode, yaitu melalui pengamatan dan penelitian.[52] Dimulai dengan pengamatan dan penelitian yang bersifat umum menjadi suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Metode tersebut sekarang lebih populer disebut dengan “metode induktif”.

Allah telah memberikan manusia hidayah inderawi. Yang paling tampak dari hidayah ini adalah pendengaran dan penglihatan, ini diberikan agar manusia berinteraksi dengan alam semesta yang ditempatinya, dengan sesuatu yang di atasnya dan dengan orang yang mendiaminya. Lalu ia menggunakannya dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang sengaja dicipta untuknya.[53]

Namun demikian, indera mempunyai batas lapangan sendiri yang tidak bisa dilampuinya. Ia mungkin sekali melakukan kesalahan. Penglihatan sekalipun dianggap sebagai indera paling kuat mungkin melakukannya. Ia melihat bayang-bayang diam padahal sebenarnya bergerak, melihat fatamorgana yang dikiranya air dan ketika ia mengejar ke tempatnya ia tidak menemukan apa-apa. Sesuatu yang kelihatannya kecil padahal sebenarnya besar karena begitu jauhnya. Oleh karena itu, Allah mengaruniai manusia hidayah yang lebih tinggi yaitu akal, yang dapat meluruskan kesalahan indera. Wilayah garapannya adalah hal-hal yang noninderawi seperti ilmu hitung, perkara-perkara yang abstrak, aturan-aturan umum dan segala yang tidak dapat diinderakan.[54]

Struktur keilmuan Islam sebagaimana tersebut diatas tentunya bisa dilihat dari klasifikasi ilmu yang dibuat Oleh Para ilmuwan atau sarjana Muslim. Pada umumnya mereka membagi ilmu ke dalam dua kelompok utama: ilmu agama dan non-agama. Al Farabi menyebutnya filosofis dan non filosofis, Al-ghazali menyebut kedua kelomopok tersebut sebagai  ilmu-ilmu syar’iyyah” dan ghayr syar’iyyah,” Menurut Ibn Khaldun, menyebut mereka “al-‘ulum al-naqliyyah” (transmitted sciences) dan “al-‘ulum al-‘aqliyyah” (rational sciences). Sementara Quthb al-Din Syirazi menyebut mereka,  ‘ulum hikmi  (philosophical sciences) dan  ‘ulum ghayr hikmi  (non-philosophical sciences).

3)      Akar-Akar Ilmu Pengetahuan (Science)

Kehadiran alam fisika sebagai realitas menjadi jembatan untuk melihat sesuatu yang bersifat metafisika yakni Yang Ada di balik fisik dan ciptaan-ciptaan itu. Keragaman alam semesta yang tak terhingga oleh manusia merupakan kenyataan-kenyataan yang tak bisa ditolak begitu saja tanpa argumentasi yang logis, yang berangkat dari kesadaran tentang realitas yang diperoleh dari pendengaran, penglihatan dan hati.

Alam semesta adalah sumber ilmu yang kedua yang merupakan ciptaan Allah SWT karena sebelum adanya alam semesta, Allah lebih dahulu ada yang tidak berpermulaan dan tak berakhir. Sedangkan alam memiliki permulaan dan masa akhir. Oleh karena itu ilmu dari Allah yang bersifat langsung bersifat absolut, sedangkan ilmu lewat alam semesta bersifat relatif.

Menurut Al Qur’an, mempelajari kitab alam akan mengungkapkan   rahasia-rahasianya kepada manusia dan menampakkan koherensi (keterpaduan), konsistensi dan aturan di dalamnya. Ini akan memungkinkan manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantara untuk menggali kekayaan-kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan mencapai kesejahteraan material lewat penemuan-penemuan ilmiahnya.[55]

Al Qur’an sebagai “kitab tertutup” dan alam semesta sebagai “kitab terbuka” saling memperkuat kedudukannya masing-masing. Artinya, Al Qur’an memuat informasi-informasi tentang material dan struktur alam semesta, sedangkan rahasia-rahasia alam semesta bisa kita cari informasinya lewat Al Qur’an dan alam semesta itu sendiri, karena Al Qur’an merupakan wahyu Allah dan alam adalah ciptaan Allah. Dengan demikian, realitas kebenaran bisa ditemukan di dalam Al Qur’an sekaligus juga bisa ditemukan pada alam semesta karena berasal dari satu sumber yakni Allah SWT Maha Kreatif alias Pencipta.

Selain alam semesta dan Al Qur’an, masih ada satu sumber lagi yakni Hadits yang berupa petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, berdasarkan pemberitahuan atau aplikasi dari petunjuk wahyu kepada    Nabi SAW terutama pengetahuan dan ilmu tentang tata cara beribadah mahdhah yang kita lakukan selama ini seperti; shalat, zakat, puasa, dan haji, lebih banyak kita mendapat model atau contoh langsung dari Rasulullah SAW, yang secara esensial tidak bisa diubah atau ditukar dengan cara-cara yang lain.

Di dalam kitab As-Sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifah wa Al-Hadharah, dijelaskan bahwa “Sunnah merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an bagi fikih dan hukum Islam. Sunnah juga merupakan sumber bagi da’wah dan bimbingan bagi seorang muslim, ia juga merupakan sumber ilmu pengetahuan religius (keagamaan), humaniora (kemanusiaan), dan sosial yang dibutuhkan umat manusia untuk meluruskan jalan mereka, membetulkan kesalahan mereka ataupun melengkapi pengetahuan eksperimental mereka”[56]

Prinsip tauhid di dalam Islam, menegaskan bahwa semua yang ada berasal dan atas izin Allah SWT.  Konsep yang mengatakan bahwa Allah SWT lah yang mengajarkan manusia disebutkan dalam Al-Quran (2:31, 55:2, 96:4-5, 2:239). Di dalam ayat lain 5:1-4 disebutkan bahwa “Dia telah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia dan mengajarinya penjelasan (bayan)”. Tauhid memiliki implikasi tidak hanya sebagai kerangka keimanan (frame of faith) tetapi juga sebagai kerangka pemikiran (frame of tought) dalam menenukan hakikat kebenaran yang ada di semesta ini. Tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan dimensi filosofis yang sangat relefan dalam upaya memahami hakikat ilmu pengetahuan.[57] Ia merupakan akar tradisi para intelektual muslim pada masa keemasannya.

Kehadiran tauhid ditengah pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi mengandung makna bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan dengan pendekatan interdisipliner atau multidisipliner, diamalkan secara etis dan tidak bebas nilai. [58] Tauhid menghendaki umat Islam melihat segala sesuatunya melampui yang bersifat fisik, sebab pada realitasnya, yang fisik tersebut masih terdapat hal lain yang justru dapat melengkapi pemahaman mengenai realitas apa adanya (das ding an sich).[59]

 

  1. C.    Kritik Islam terhadap Ilmu Modern

Ketika modernisme meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih dominan
dari yang lain, serta agama justru diletakkan pada jenjang terendah dalam struktur pengetahuannya, maka sebagai konskuensi logisnya terjadilah pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam pandangan hidup, sikap dan perilaku hidup masyarakat, dari derajat yang bersifat kualitatif-spiritual menjadi kuantitatif-material. Pada saat kebenaran pengetahuan agama ditempatkan  sedemikian rupa, sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal timbulnya kesulitan-kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam hidup dan kehidupan manusia dewasa ini.

Pada era millennium ketiga ini, perkembangan sains berlangsung begitu sangat mengesankan dan bahkan sangat spektakuler di hampir semua bidang kajian. Sebuah kemajuan yang pada abad sebelumnya bahkan tak pernah terbayangkan. Namun kemajuan diberbagai bidang sains itu kebanyakan masih dipelopori oleh para ilmuan dan cendikiawan Barat, dan karenanya menjadikan sains berada dalam kerangka filosofis pemikiran mereka yang sekuler, pragmatis, positivistik dan materialistik. Paradigma pemikiran ini pada gilirannya akan mempengaruhi konsep, interpretasi, makna-makna, dan idiom-idiom ilmu pengetahuan. Thomas Khun dalam The Structure of Scientific Revolution mengungkapkan bahwa dalam pembentukan suatu teori selalu terdapat factor-faktor lain seperti citarasa estetis, nilai moral, dan ikatan-ikatan sosial tertentu. Dimensi subyektif ini memang tidak bersifat eksplisit sehingga tidak dapat diukur secara kuantitatif dan empiris, tetapi secara implisit hal tersebut sangat menentukan dalam proses penemuan sebuah teori.[60]

Di satu sisi, perkembangan sains yang sedemikian hebat tersebut membawa berbagai kemudahan dan kenyamanan dalam kehidupan manusia. Hal-hal yang pada masa sebelumnya hanya merupakan hayalan belaka kemudian pada zaman sekarang diwujudkan keberadaannya oleh perkembangan sains tersebut. Manusia benar-benar dimanjakan oleh kemajuan sains dan anak keturunannya, yakni teknologi.

Tapi di sisi yang lain, perkembangan tersebut membawa dampak negatif yang sangat mengkhawatirkan, terutama bila bila dipandang dari perspektif nilai-nilai etis agama. Dari segi hubungan antar manusia, sains telah mengantarkan manusia pada kehidupan yang sedemikian individualistis bahkan apatis terhadap manusia yang lain. Praktek kanibalisasi model hewani sudah menjadi sarapan pagi manusia dengan sains sebagai pendukung utamanya. Sains telah menyebabkan patologi social berupa alienasi, anomali, schizophrenia, split of personality, kenestapaan dan menangis dalam bingkai tawa.

Kemajuan ilmu dan teknologi yang semula bertujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakuran baru bagi kehidupan manusia. Ibarat Raja Midas yang menginginkan setiap yang disentuhnya berubah jadi emas, ternyata ketika keinginannya dikabulkan, dia tidak semakin senang, tetapi semakin gelisah bahkan gila. Sebab tidak saja rumah dan isi rumahnya yang berubah jadi emas, tetapi istri dan anak yang disentuh pun menjadi emas sehingga sang Raja meratapi nasibnya yang kesepian tanpa ada makhluk hidup yang mendampinginya. Begitupun dengan ilmu pengetahuan  dan teknologi yang semula untuk memudahkan urusan manusia, namun ketika urusan itu semakin mudah malah memunculkan rasa kesepian dan keterasingan yang baru.[61] Modernisme akhirnya dirasakan membawa kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup.[62]

Dari segi hubungan manusia dengan alam tidak kalah buruknya dengan dua segi hubungan di atas. Alam telah menjadi komoditas utama untuk dieksplorasi dan direduksi sedemikian rupa semata-semata untuk memuaskan hasrat dan keinginan manusia. Alam hanya diperlakukan sebagai sebuah komoditi yang seutuhnya menjadi hak manusia untuk diapakan dan dibagaimanakan saja tanpa memperhatikan ekosistem, keseimbangan hayati dan keanekaragamannya serta keberlangsungannya. Bencana-bencana dahsyat yang disinyalir disebabkan oleh rusaknya keseimbangan alam tetap tidak mampu mengerem apalagi menghentikan nafsu manusia untuk merusak alam demi sains dan teknologi.

Dari segi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia telah tercerabut dari akar-akar spiritulitasnya yang fitrah. Agama telah menjadi sampah karena Tuhan telah mati di hati para manusia pemuja sains tersebut.[63]  Oleh karenanya, maka agama dan Tuhan sama sekali tidak menjadi pertimbangan utama dalam menjalani kehidupan ini sehingga tidak heran jika manusia-manusia tersebut mengalami ketidakbermaknaan dalam kehidupannya sebagai akibat dari pengingkaran mereka akan kebutuhannya pada agama dan Tuhan. Sains pada segi tertentu telah menghantarkan manusia pada kehampaan spiritual. Sains telah mencerabut diri dari maksud utama kelahirannya sendiri, yakni memanusiakan manusia, oleh karena filsafat sekuler yang membidani lahirnya sains tersebut telah kontradiktif dengan fitrah manusia. Bahkan, pada taraf tertentu, sains harus mampu menafikan peran agama dan sama sekali tidak menyertakan Tuhan agar agar sains bisa semakin maju.

Dalil tersebut bisa dilacak pada pendapat Auguste Comte ketika mengkategorikan sejarah perkembangan intelektual manusia dengan membaginya pada tiga tahapan. Pertama, tahap teologis, yaitu tahapan dimana manusia selalu mencari dan menemukan sebab dan rujuan akhir dari segala sesuatu yang ada. Tahap awal perkembanga intelektual masyarakat ini disebut juga dengan tahap fiktif, karena segala fenomena yang menarik perhatian manusia di alam semesta selalu dikaitkan dengan atau diletakkan dalam konteksnya dengan sesuatu yang mutlak. Kedua, tahap metafisik, yakni suatu tahap peralihan menuju perkembangan jiwa yang paling akhir karena manusia mulai berubah cara berpikirnya dalam usahanya mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan fenomena alam. Pada tahap metafisik ini, meskipun jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang  tidak berbeda dengan apa yang dilakukannya pada tahap teologi, namun di sini manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan yang adikodrati dan beralih pada kekuatan abstraksinya. Ketiga, tahap positif, merupakan tahap akhir dari perkembangan jiwa di mana manusia tidak lagi berkepentingan pada hal-hal yang berkaitan dengan sebab pertama dan tujuan akhir. Manusia pada tahap ini merasa lebih dekat dan memerlukan penjelasan tentang fenomena alam secara jelas, pasti, dan bermanfaat melalui observasi, dan pada tahap ketiga inilah perkembangan sains berlangsung.[64]

Dalam pandangan Islam, kekeliruan paling mendasar dari sains modern dari perspektif filosofis, dapat dipandang paling tidak dari tiga aspek, yakni ontologi, epistemology dan aksiologi.[65] Kekeliruan dalam aspek ontologi, terkait dengan yang ada (being) sebagai obyek kajian dalam sains. Dalam konteks ini, sains modern hanya membatasi diri pada  obyek-obyek empiris, fisik, materi, dan eksternal. Dengan kata lain, sains modern hanya akan berurusan dengan obyek-obyek yang teramati oleh indra. Hal-hal abstrak yang di luar jangkauan panca indera dan pengalaman manusia dianggap sebagai bukan urusan sains. Dengan demikian, berdasarkan perspektif positivisme tersebut, sifat utama sains modern adalah berorientasi pada fenomena empiris. Sedangkan hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, meskipun sebenarnya ada seperti Tuhan, ruh atau jiwa, malaikat, dan seterusnya dikeluarkan dari wilayah kajian sains. Sebagai konsekwensinya, maka wahyu, moral, ruhani, dan spiritual yang tidak dapat diukur dan dibuktikan secara empiris-kuantitatif menjadi tidak berarti dan dianggap lebih rendah derajatnya. Pada gilirannya segala ilmu yang bersumber agama mengenai masalah-masalah moral, kehidupan setelah mati, surga, neraka, dan seterusnya yang tidak bisa diobservasi, diukur, dan dibuktikan dikategorikan sebagai tahayul, rendahan, tidak bermuatan ilmu, serta tidak ada nilainya sama sekali. Inilah sebagian indikasi sedang berlangsungnya proses sekularisasi terhadap ilmu pengetahuan yang telah berlangsung sejak lama di Eropa.

Ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas paradigm filsafar Barat yang sekuler tersebut jelas tidak memberikan tempat bagi pemahaman tauhid. Filsafat materialism misalnya yang menganggap materi merupakan satu-satunya kejadian di alam dan merupakan tujuan dari gerak-gerak alam semesta sangat jelas telah menafikan dunia spiritual, rohani, dan persoalan supranatural yang mendasari segala keberadaan benda-benda material di alam jagad. Pemikiran seperti ini sama artinya dengan menempatkan alam semesta sebagai realitas yang independen dari pencipta. Singkat kata, berdasarkan filsafat ini maka alam semesta tidak dipandang sebagai ciptaan Tuhan. Alam semesta dianggap terjadi begitu saja secara kebetulan—meminjam istilah dalam teori Darwin: sebagai hasil dari sebuah proses evolusi. Dengan demikian sains modern telah meniadakan pemaham tauhid tentang asal usul dan tujuan alam semesta ini sebagai berasal dan akan kembali pada Tuhan. Disinilah filsafat Barat sebagai landasan sains modern yang memiliki watak materialism  tersebut dapat mendiskreditkan sendi-sendi keimanan masyarakat muslim.

Kekeliruan mendasar lain dari filsafat materialisme dan positivisme dapat pula dipandang dari sudut epistemologi, yaitu bagaimana seseorang dapat memperoleh sesuatu pengetahuan yang benar. Secara epistemologis sains Barat hanya membenarkan pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah, dengan melibatkan proses verifikasi dan pengukuran secara matematis, verbal, empirisnya. Mereka memandang metode ilmiah dalam pengertiannya yang positivistic itu, sebagai satu-satunya jalan  untuk mengetahui dan memperoleh pengetahuan. Berdasarkan anggapan itu, sains modern dengan demikian menolah secara tegas metode-metode lain sebagai cara yang abash untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan Islam merekomendasikan penggunaan berbagai cara untuk mencapai ilmu pengetahuan seperti observasi, eksperimen, intuisi, dan pemikiran rasional. Sumber sains Barat  yang berlandaskan positivism dan materialism hanya terpaku pada fenomena alam atau realitas empiris dan menolah wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Islam di lain pihak, menyatakan bahwa disamping fenomena alam, wahyu (Al-Qur’an dan Hadits) yang sahih juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang  abash.

Kesalahan dan kerancuan yang lebih mendasar dari filsafat positivistik ini dapat ditinjau dari sudut pandang aksiologi. Persoalan aksiologi di sini terkait dengan nilai-nilai yang melandasi dan menentukan tujuan dirumuskan dan digunakannya ilmu pengetahuan. Sains Barat mengklaim bahwa ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai, sehingga kaum akademisi Barat mempertahankan ide “sains untuk sains”. Mereka menolak dan mengabaikan nilai-nilai moral dan menganggapnya sebagai relatif, subyektif dan personal. Mereka juga menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.[66] Akan tetapi, tatkala Barat menolak nilai-nilai moral mereka sesungguhnya menggantinya dengan nilai-nilai lain, yakni yang sarat dengan muatan nilai-nilai  positivistik, pragmatis, utilitarian, dan materialistis, oleh karenanya tidak bebas nilai. Jadi, sesungguhnya tujuan dari sains Barat adalah untuk memuaskan kebutuhan materi yang bersifat duniawi dengan mengabaikan pemenuhan kebutuhan rohani, moral, dan spiritual. Sains tanpa nilai-nilai moral benar-benar akan membawa ke jurang kehancuran yang massif. Sedangkan tujuan sains menurut pandangan Islam, disamping untuk memperoleh manfaat bagi kebahagiaan hidup di dunia, juga untuk memenuhi kebutuhan rohani, moral, dan spiritual demi kebahagiaan akhirat yang justru menjadi tujuan utama. Dengan ungkapan lain, tujuan akhir untuk mencari ilmu pengetahuan adalah mengetahui dan mengabdi kepada Allah dalam rangka mencari keridhaan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan jalan ini, maka kebutuhan fisik yang bersifat materi dan kebutuhan rohani yang bersifat spiritual dapat terpenuhi sehingga manusia mampu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dengan demikian peradaban modern yang berkembang di Barat sejak zaman Pencerahan adalah sebuah eksperimin yang telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya, sehingga umat manusia menjadi ragu akan pertanyaan apakah mereka menemukan cara-cara yang lain di masa yang akan datang.  Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hossein Nasr , karena manusia modern yang memberontak melawan Allah, telah menciptakan sains yang tidak berdasarkan cahaya intelek, jadi berbeda dengan yang kita saksikan di dalam sains Islam pada masa kejayaan klasik, tetapi berdasarkan kekuatan akal (rasio) manusia semata untuk memperoleh data melalui indera, sehingga peradaban modern hanya ditegakkan di atas landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling esensial dari manusia itu sendiri.[67]

 

  1. D.    Al qur’an dan Filsafatnya mengenai Ilmu

Berusaha  memahami  konseps  ilmu-ilmu  ke-Islam-an,  pertama-tama  harus dilacak  terlebih  dahulu  pengertian  dan  hakikat  ilmu  secara  umum.  Pengertian  dan hakikat  ilmu  sejak  lama  menjadi  bahan  polemik  di  kalangan  filosof  dan  ilmuwan. Bahkan  dalam  konteks  bahasa  Indonesia,  istilah  “ilmu”  seringkali  dikacaukan  dengan istilah  “pengetahuan”.  Itulah  sebabnya  menjadi  tidak  mudah  memberikan  definisi “ilmu”.  JuJun  Suriasumantri,  mengartikan  ilmu  sebagai  pengetahuan  yang  memiliki tiga karakteristik, yaitu:  rasional, empiris, dan sistematis.[68]

 Pengertian yang hampir sama diberikan  oleh Amsal  Bachtiar,  yang menyatakan  bahwa  ilmu merupakan  pengetahuan  yang  terklasifikasi,  tersistem  dan  terukur  serta  dapat  dibuktikan  kebenarannya  secra empiris.[69] Dengan  mempertimbangkan  maksud  dan  tujuan  penggunaan  kata  ilmu  serta karakteristik  yang  dimilikinya,  istilah  ilmu  merupakan  padanan  dari  bahasa  Inggris, “science”.  Ilmu  yang  berasal  dari  kata  bahasa Arab,  ‘ilm (  ـﻠ)  adalah  sinonim  dengan “science” dalam bahasa Inggris. Itulah sebabnya Mulyadhi Kartanegara menyatakan:

Menurut  saya,  istilah  ilmu  dalam  epistemologi  Islam  mempunyai  kemiripan  dengan  istilah science  dalam  epistemologi  Barat.  Sebagaimana  sains  dalam  epistemologi  Barat  dibedakan dengan knowledge,  ilmu dalam epistemologi  Islam dibedakan dengan opini (ra’y). Sementara sains  dipandang  sebagai  any  organized  knowledge,  ilmu  didefinisikan  sebagai  “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Dengan demikian, ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekadar opini, melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.[70]

Di dalam Ensiklopedi Islam kata ilmu berasal dari bahasa Arab, ilmu yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata dari jahil ketidaktahuan atau kebodohan.[71] Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan ’arafa (mengetahui), ‘arif (yang mengetahui) dan ma’rifah (pengetahuan).”[72] Karena kata ‘ilm lebih mengandung arti kejelasan.

Allah Swt. tidak dinamakan arif, tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Quran menggunakan kata itu-untuk Allah-dalam hal-hal yang diketahui-Nya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Seperti; ya’lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan) [Q.S. Al-Baqarah: 77], ya’lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim) [Q.S. Luqman : 34], ya’lamu ma tahmil kullu untsa (Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan) [Q.S. Al-Ra’d: 8], ya’lamu ma fi anfusikum (Allah mengetahui apa yang di dalam hatimu) [Q.S. Al-Baqarah: 235], ya’lamu ma fissamawat wa ma fil ardh (Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi) [Q.S. Al-Hujarat: 16], khainat al-‘ayun wa ma tukh fiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan di dalam dada) [Q.S. Al-Mu’min:20]. Demikian juga ‘ilm yang disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.[73]

Ini menunjukkan bahwa makna dasar akar kata ‘ain-lam-mim adalah  diambil dari kata ‘alamah, yang berarti ‘tanda’, ‘simbol’ atau ‘lambang’, yang dengan itu seseorang atau sesuatu dapat dikenal. Juga berarti pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk atau gejala. Karenanya, ma’lam (jamak ma’alim) berarti petunjuk jalan, atau sesuatu yang menunjukkan dirinya, atau dengan apa yang seseorang ditunjukkan. Hal yang sama, alam juga berarti rambu jalan sebagai petunjuk.[74]

Di dalam al-Mu’jam al-Mufahras li-alfaz Al-Qur’an al-Karim yang dinukil oleh Yusuf al-Qardhawi, kata ‘ilm (ilmu) baik dalam bentuk definitive (ma’rifah) maupun dalam bentuk indefinitif (nakirah) terdapat 80 kali. Sedangkan kata yang berkait dengan itu seperti kata ‘allama (mengajarkan), ya’lamun (mereka mengetahui), ya’lamu (ia mengetahui), ‘alim (sangat tahu) dan sebagainya disebut beratus-ratus kali.[75] Hal ini belum termasuk kata al-‘aql, al-Albab dan an-Nuha, al-Fiqh, al-Hikmah dan al-Fikr yang mana semuanya memiliki keterkaitan dengan kegiatan ilmiah.

Selain dalam Al-Qur’an, dalam al-Hadis juga banyak dijumpai tentang diskursus ilmu. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kitab Hadis yang secara spesifik menampilkan bab tentang ilmu. Misalnya dalam kitab Hadis al-Jami’ Al-Sahih karya Imam Muhamad Bin Isma’il al-Bukhari -sebagaimana dinukil oleh al-Qardawi – didapati bab ilmu sesudah hadis-hadis permulaan yang menjelaskan tentang turunnya wahyu dan iman. Demikian pula dikatakan oleh al-Hafiz Ibn Hajar dalam kitabnya al-Fath, hadishadis tersebut dengan katagori marfu’ sejumlah 102 hadis.[76] Demikian pula kitab Hadis lainnya seperti Sahih Muslim, sunan al-Turmudhi, sunan Abi Daud, Al-Nasa‘i dan Ibn Majah terdapat pula bab ilmu baik yang mengupas secara luas maupun singkat dengan berbagai tipologi faliditasnya yang sahih, dha’if maupun hasan.

Di dalam Al Qur’an  terdapat kata-kata tentang ilmu  dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali,[77] Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.

Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah  kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36). “Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat “suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu” [78] “Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya  kekuatan intelektual   yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit” .[79]

 Dalam bahasa Arab, pengetahuan digambarkan dengan istilah al-ilm, al-ma’rifah dan al-syu’ur. Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia merupakan salah satu sifat Allah SWT. Al-ilm berasal dari akar kata ‘ilm dan diambil dari kata ‘alamah, yang berarti “tanda”, “simbol”, atau ”lambang”, yang dengannya sesuatu itu dapat dikenal. Tapi alamah juga berarti pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk dan gejala. Karenanya ma’lam (jamak ma’alim) berarti petunjuk jalan, atau sesuatu yang menunjukkan dirinya atau dengan apa seseorang ditunjukkan. Hal yang sama juga pada kata alam berarti rambu jalan sebagai petunjuk. Di samping itu, bukan tanpa tujuan al-Quran menggunakan istilah ayat baik terhadap wahyu, maupun terhadap fenomena alam. Pengertian ayat (dan juga ilm, alam, dan ’alama) di dalam al-Quran tersebut yang menyebabkan Nabi SAW mengutuk orang-orang yang membaca ayat 3:190-195 yang secara jelas menggambarkan karakteristik orang-orang yang berfikir, mambaca, mengingat ayat-ayat Allah SWT di muka bumi tanpa mau merenungkan (makna)nya.

Dalam al qur’an kata ilm ternyata disebut sebanyak 105 kali lebih banyak dari penyebutan kata al dien sebanyak 103 kali, tetapi dengan kata jadianya ia disebut tidak kurang dari 744 kali untuk menyebutnya secara terinci sebagi berikut; alima (35), ya’lamu (215), I’lam (31),yu’lam’u (1) ilm (105), alim (18), ma’lum(13), almiin (73), ’alam (3), a’lam (49), alima atau ulama’ (163), allam (4), a’lama (12) Yu’limu (16), ulima (3), Mu’alam (1), ta’lama (2), dari kata jadian itu timbul berbagai pengertian. [80]

Dari sudut bahasa Indonesia Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ilm kata jadian dari ‘alima, ya’lamu, ‘ilman,menjadi ilmun, ma’lumun, alim’un, dalam bahasa arab alima sebagai kata kerja, berarti tahu atau mengetahui yang berarti juga mengetahui.[81]  ‘Alima, ya’lamu, ‘ilman, menjadi ilmun, ma’lumun, alim’un dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti: mengerti, memahami benar-benar. Kata al ilmu dikenal dengan ummu sifaat (sifat-sifat) tertingggi oleh karena itu kata al ilmu merupakan termasuk dalam tujuh sifat penting Allah yang bersifat melingkupi (Komprehensif).  Jadi pengertian yang terdapat dalam kamus bahasa indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. [82]

Berdasarkan ayat pertama kali yang diturunkan dalam Al Qur’an, Ada yang merasa heran mengapa kata pertama dari ayat  yang pertama kali turun tersebut adalah iqra’ atau perintah membaca. Padahal beliau tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Quran. Keheranan ini akan sirna jika disadari arti ‘iqra dan disadari pula bahwa perintah ini tidak hanya ditunjukan kepada pribadi Rasulullah Saw. semata-mata, tetapi juga kepada umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Relasi perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.[83]

Kata iqra’ (اقرأ) terambil dari kata kerja qara’a (قرأ) yang pada mulanya berarti “menghimpun”.[84] Dari menghimpun, lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.

Dengan demikian wahyu pertama ini tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[85]

Di dalam tafsir Ibnu Katsir di jelaskan bahwa Ayat Al-Quran yang pertama turun (surat Al-‘Alaq: 1-5) adalah ayat-ayat yang mulia lagi penuh berkah. Ayat-ayat tersebut merupakan rahmat pertama yang dengannya Allah menyayangi hamba-hamba-Nya sekaligus nikmat yang pertama yang diberikan kepada mereka. Di dalam ayat-ayat tersebut juga memuat peringatan mengenai permulaan penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan bahwasanya diantara kemurahan Allah Swt. adalah dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dengan demikian, Dia telah memuliakannya dengan ilmu.[86]

Hal tersebut tentunya merupakan suatu penghargaan yang sangat mulia bagi ilmu pengetahuan dan bagi para ilmuwan. Jadi, jelaslah, bagaimana pandangan Al-Quran terhadap ilmu pengetahuan.  Ilmu merupakan hal yang istimewa yang menjadikan manusia unggul daripada makhluk-makhluk Allah yang lainnya guna menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi ini. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan di dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat [2] 30-33.[87]

Selanjutnya, dalam pandangan Al-Quran-seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama-ilmu itu terdiri dari dua macam, yaitu; pertama ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, ini disebut ‘ilm ladunni, seperti diinformasikan antara lain dalam surat al-Kahfi ayat 65:

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا

Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

 

Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, ini disebut ‘ilm kasbi. Ayat-ayat tentang ‘ilm kasbi ini jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang ‘il ladunni. Pembagian ini disebabkan dalam pandangan Al-Qur’an terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain dalam surat Al-Haqqah ayat 38-39:

 فَلا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ (٣٨) وَمَا لا تُبْصِرُونَ (٣٩)

Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak kamu lihat.

Dengan demikian, objek ilmu di dalam Islam meliputi materi dan non materi, fenomena dan non fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.[88] Hal ini seperti diterangkan di dalam surat Al-Nahl [16]: 8:

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan, dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.

Dari sini jelaslah, bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas, karena itu wajar sekali Allah menegaskan di dalam surat Al-Isra [17] : 85

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا

Dan  mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

 Sifat penting dari konsep pengetahuan dalam al-Quran adalah holistik dan utuh (berbeda dengan konsep sekuler tentang pengetahuan). Pembedaan ini sebagai bukti worldview tauhid dan monoteistik yang tak kenal kompromi. Dalam konteks ini berarti persoalan-persoalan epistemologis harus selalu dikaitkan dengan etika dan spiritualitas.

Tujuan filsafat dan ilmu dalam presepsi al qur’an yakni sama-sama mencari kebenaran. Hanya saja filsafat tidak berhenti pada satu garis kebenaran, tetapi ingin terus mencari kebenaran kedua, ketiga dan seterusnya sampai habis energinya. Sedangkan ilmu kadang sudah merasa cukup puas dengan satu kebenaran dan bila ilmu itu disuntik dengan filsafat alias pemikiran maka ia kan bergerak maju untuk mencari kebenaran yang lain lagi.

Dalam filsafat illuminasi, “Tuhan kosmos ini adalah Sumber Cahaya, yang dari-Nya wujud diri yang beradiasi memancarkan suatu cahaya yang menyingkap semua wujud, dan ketika tiada lagi dunia privasi, non-wujud, dan kegelapan bersanding dengan dosa. Menurut epistimologi illuminasi, pengetahuan diperoleh ketika tidak ada rintangan antara keduanya. Dan hanya dengan begitu, subyek mengetahui dapat menangkap esensi obyek”[89]

  1. E.     Model Hubungan Ilmu dan Agama; Sebuah Tawaran Konseptual

Konsep  ilmu-ilmu  ke-Islam-an,  oleh  beberapa  pemikir Muslim  juga  biasa disebut dengan  “sains  Islam”.  Ketika mencoba menjawab pertanyaan:  mengapa sains Islam, Nasim Butt mengatakan bahwa  jika sains memang sarat nilai dengan komponen penting yang bersifat subjektif (juga objektif), maka tentunya ia bisa dikembangkan melalui selera dan penekanan kultural yang khas. Artinya, di dalam sebuah masyarakat Islam, nilai yang membentuk upaya sains dan teknologi haruslah nilai Islami, yang dalam istilah singkatnya disebut sebagai konsep sains Islam.[90]

Untuk  memberikan  pemahaman  yang  memadai  tentang  konsep  integrasi keilmuan,  yang  pertama-tama  perlu  dilakukan  adalah  memahami  konteks  munculnya ide  integrasi  keilmuan  tersebut. Bahwa  selama  ini  di  kalangan umat  Islam  terjadi  suatu pandangan  dan  sikap  yang  membedakan  antara  ilmu-ilmu  ke-Islam-an  di  satu  sisi, dengan  ilmu-ilmu  umum  di  sisi  lain.  Ada perlakukan diskriminatif terhadap  dua  jenis ilmu  tersebut.  Umat  Islam  seolah  terbelah  antara  mereka  yang  berpandangan  positif terhadap  ilmu-ilmu  ke-Islam-an  sambil  memandang  negatif  yang  lainnya,  dan  mereka yang  berpandangan  positif  terhadap  disiplin  ilmu-ilmu  umum  sembari  memandang negatif  terhadap  ilmu-ilmu  ke-Islam-an.

Dari  konteks  yang  melatari  munculnya  ide  integrasi  keilmuan  tersebut,  maka integrasi  keilmuan  pertama-tama  dapat  dipahami  sebagai  upaya  membangun  suatu pandangan dan sikap yang positif  terhadap kedua  jenis  ilmu yang sekarang berkemba di  dunia  Islam.  M.  Amir  Ali  sebagaimana dikutip Nasim Butt  kemudian  memberikan  pengertian  integrasi  keilmuan Integration of sciences means the recognition that all true knowledge is from Allah aall sciences should be treated with equal respect whether it is scientific or revealed.[91]

Kata  kunci  konsepsi  integrasi  keilmuan  berangkat  dari  premis  bahwa  semua pengetahuan  yang  benar  berasal  dari Allah (all  true  knowledge  is  from Allah). Dalam pengertian  yang  lain, M.  Amir  Ali  juga  menggunakan  istilah  all  correct  theories  are from Allah and  false  theories are  from men  themselves or  inspired by Satan.[92] Dengan pengertian  yang  hampir  sama  Usman  Hassan  menggunakan  istilah “knowledge  is  the light that comes from Allah “.[93]

Konsep  integrasi  keilmuan  juga  berangkat  dari  doktrin  keesaan Allah (tawhîd), sebagaimana  dikemukakan  oleh  Seyyed  Hossein  Nasr,  the  arts  and  sciences  in  Islam are based on  the  idea of unity, whichh  is  the heart of  the Muslim revelation.[94] Doktrin keesaan  Tuhan,  atau  iman  dalam  pandangan  Isma’il  Razi  al  Faruqi,  bukanlah  semata-mata  suatu  kategori  etika.  Ia  adalah  suatu  kategori  kognitif  yang  berhubungan  dengan pengetahuan,  dengan  kebenaran  proposisi-proposisinya.  Dan  karena  sifat  dari kandungan  proposisinya  sama  dengan  sifat  dari  prinsip  pertama  logika  dan pengetahuan, metafisika,  etika,  dan  estetika, maka  dengan  sendirinya  dalam  diri  subjek ia bertindak sebagai cahaya yang menyinari segala sesuatu.

Merumuskan model-model integrasi  keilmuan  secara  konsepsional  memang tidak mudah. Hal  ini  terjadi karena berbagai  ide dan gagasan  integrasi keilmuan muncul secara  sporadis  baik  konteks  tempatnya,  waktunya,  maupun  argumen  yang melatarbelakanginya.  faktor  yang  terkait  dengan  gagasan  ini  juga  tidak  tunggal.  Ada beberapa  faktor  yang  terkait  dengannya,  yakni  (1)  sejarah  tentang  hubungan  sains dengan  agama ;  (2)  kuatnya  tekanan  dari  kelompok  ilmuwan  yang  menolak  doktrin “bebas  nilai”-nya  sains 2;  (3)  krisis  yang  diakibatkan  oleh  sains  dan  teknologi ;  dan  (4) ketertinggalan umat Islam dalam bidang ilmu dan teknoilogi.[95]

Kontribusi Barbour untuk menjelaskan bagaimana model hubungan ilmu dan agama adalah empat tipologinya yang mengkategorikan relasi sains dan agama: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Teolog Katolik, John Haught, menyebutkan empat tipologi yang serupa: konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi—dua yang pertama hampir identik dengan Barbour.[96] Model atau tipologi hubungan antara agama dan sains tersebut menurut Barbour adalah sebagai berikut: [97]

  1. a.    Model Konflik.

Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja.[98]

Identifikasinya adalah bahwa yang riil yaitu dapat diukur dan dirumuskan dengan hubungan matematis. Mereka juga berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipaham. Pada akhirnya, penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains. Agama tidak lebih dari cerita-cerita mitologi dan legenda sehingga ada kaitannya sama sekali dengan sains.[99]

Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama.[100]

Dalam modus ini, sains dan agama bertentangan—“musuh”, jika Anda akan— di mana masing-masing pihak menganggap yang lainnya salah dan tidak benar. Model ini berpendirian bahwa agama dan sains adalah dua hal yang tidak sekedar berbeda tapi sepenuhnya bertentangan. Karena itu, seseorang dalam waktu bersamaan tidak mungkin dapat mendukung teori sains dan memegang keyakinan agama, karena agama tidak bisa membuktikan kepercayaan dan pandangannya secara jelas (straight forword), sedang sains mampu. Sebagaimana halnya agama mempercayai Tuhan tidak perlu menunjukkan bukti kongkrit keberadaannya, sebaliknya sains manuntut pembuktian semua hipotesis dan teori dengan kenyataan. Keduanya dianut oleh kelompok biblical literalism, dan kelompok scientific materialism.[101]

            Agama                                                 Sains

       X

Bagan 4: Model Relasi Konflik Antara Agama dan Sains

Sehubungan dengan konflik, Barbour dan Haught mendiskusikan pandangan yang disebut “harmoni”. Dalam pendekatan ini, teks kitab suci ditafsirkan sesuai—sering harfiah—dengan ilmu pengetahuan modern, seolah-olah menghadirkan abad pengetahuan ilmiah sebelum ilmu pengetahuan menemukannya. Contohnya banyak ditemukan dalam agama dunia, biasanya di kalangan pemeluk agama yang konservatif. Islam, menafsirkan Al-Quran untuk mengungkapkan pengetahuan ilmiah pertama kali dilakukan untuk menumbuhkan kembali minat umat Islam kepada ilmu pengetahuan modern. [102]

  1. b.    Model Independen.

Pandangan yang lebih netral daripada konflik adalah independensi, dimana sains dan agama seperti “dua orang asing”. Keberadaan mereka terpisah secara mandiri, mengajukan pertanyaan yang berbeda, mengacu ke domain yang berbeda, dan berbicara dalam bahasa yang berbeda. Domain dari agama adalah alam yang lebih tinggi dimana “Tuhan bekerja dengan cara yang misterius”, dunia bersifat subjektif dimana ia menyatakan dirinya kepada manusia, dan individu membuat komitmen pribadi melalui keimanan.

Apa yang terjadi di alam tidak ada hubungan dengan-Nya, sains bekerja untuk mendapatkan kebenaran tentang dunia fisik yang cukup independen dari agama dengan menggunakan observasi dan akal. Pandangan independensi juga mencirikan teologi Katolik modern dari neo-Thomisme (berdasarkan pemikiran dari teolog abad pertengahan, Thomas Aquinas) yang memisahkan wilayah Tuhan “kausalitas primer” dari ranah “penyebab sekunder”, seperti hukum alam yang dapat dipelajari secara ilmiah. Pandangan Independensi disuarakan dengan kuat oleh agamawan dan ilmuwan terkemuka. Di antara mereka adalah paleontolog terkemuka, Stephen Jay Gould, yang berpendapat bahwa sains dan agama termasuk dalam “Non-Overlapping MAgesteria (NOMA), atau terpisah “otoritas domain mengajarnya”.[103]

Perbedaan bahasa yang digunakan ilmu pengetahuan dan agama mencerminkan mereka sangat berbeda fungsi dalam kehidupan masyarakat. Bahasa di dalam Kitab Kejadian I dimaksudkan untuk mengungkapkan dan menginspirasi orang supaya percaya mengenai hubungan mereka dengan Tuhan dan penciptaan, dan bukan memberikan informasi rinci tentang alam semesta fisik. Hal ini sebenarnya bisa merugikan keyakinan keberagamaan apabila terlalu dekat menyamakan dengan penjelasan ilmiah, karena tahun depan teori ilmiah bisa berubah![104]

Barbour juga memasukkan hubungan “independensi” yang saling melengkapi, dimana sains dan agama yang terlihat hidup berdampingan secara terpisah memiliki aspek kontradiktif keseluruhan yang lebih besar. Argumentasi model ini diantaranya dikemukakan oleh Lang dan Gilhey, bahwa sains berusaha menjelaskan data obyektif, umum, dan berulang-ulang, sementara agama berbicara tentang masalah eksistensi tatanan dan keindahan dunia dan pengalaman seseorang seperti pengampunan, makna, kepercayaan, keselamatan dan lain sebagainya. Tujuan model ini adalah untuk menghindari konflik antara keduanya dan sebagai konsekuensi munculnya ilmu pengetahuan baru (new knowledge) seperti penjelasan biologis atas organisme organ.[105]

Agama                                                 Sains

 

 

Epistemologi                                       Epistemologi

Bagan 5: Model Relasi Independen Antara Agama dan Sains

 

  1. c.    Model Dialog (Contact).

Hubungan ini membangun jembatan antara sains dan agama seperti “persahabatan”. Di sini ada persamaan dan kesejajaran dalam metodologi keduanya. Dialog juga muncul karena sains memiliki batas dan tergantung pada penyelidikan alam di luar dirinya. Untuk satu hal, akar sejarah dan asumsi dasar datang dari luar sains itu sendiri. Banyak yang telah ditulis tentang pengaruh pemikiran Yunani terhadap munculnya sains, dan dapat dikatakan bahwa peran dari ide-ide tradisi mereka mengenai alam semesta yang tertib, dimengerti, dan patuh hukum adalah pengandaian inti dari sains. Sains tidak dapat dilakukan—terutama dalam kosmologi—apabila tanpa asumsi awal yang diambil dari keimanan, bahwa hukum bekerja di seluruh ruang dan waktu. Pengaruh ide-ide keagamaan terjadi di awal Islam, dimana kepercayaan dalam kesatuan pengetahuan dan memelajari alam merupakan “kewajiban agama” untuk mendekatkan kepada Pencipta menyebabkan kegiatan ilmiah berkembang dengan pesat.[106]

Model ini bermaksud mencari persamaan atau perbandingan secara metodis dan konseptual antara agama dan sains, sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan antara keduanya. Upaya ini dilakukan dengan cara mencari konsep dalam agama yang analog, serupa atau sebanding dengan konsep dalam sains atau sebaliknya. Suatu model yang berbeda dengan model kedua yang menekankan perbedaan ansich.  Menurut Barbour, kesamaan antara keduanya bisa terjadi dalam dua hal, kesamaan metodologis dan kesamaan konsep. Kesamaan metodologis terjadi, misalnya, dalam hal sains tidak sepenuhnya obyektif sebagaimana agama tidak sepenuhnya subyektif. Secara metodologis, tidak ada perbedaan yang absolut antara agama dan sains, karena data ilmiah sebagai dasar sain yang dianggap sebagai wujud obyektifitas, sebenarnya juga melibatkan unsure-unsur subyektifitas. Lebih dari itu, subyektifitas sains terjadi pada asumsi teoritis yang digunakan dalam proses seleksi, penafsiran data dan pelaporan. Barbour bahkan menambahkan bahwa persamaan metodologis ini terletak pada prinsip hubungan antara teori dan pengalaman. Tujuan model ini adalah agar agama dan sains dapat saling memperluas wawasan dan pengetahuan tentang alam.

Agama                                     Sains

Ontologi

Epistemologi

Aksiologi

 

Persamaan

Perbedaan

Bagan 6: Model Relasi Dialog Antara Agama dan Sains

 

d. Model Integrasi (Confirmation)

Relasi terakhir Barbour adalah yang paling dekat dari semuanya dan menyerupai dekatnya kemitraan atau bahkan pernikahan. Dalam pandangan ini sistem teologis atau keyakinan agama dapat disintesis dengan pemahaman ilmiah modern menjadi kesatuan visi realitas. Dia mengidentifikasi tiga pendekatan: teologi alamiah, teologi alam, dan sintesis sistematis.[107]

Alternatif hubungan antara agama dan sains yang dipandang paling ideal adalah model integrasi. Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah-masalah yang dianggap bertentangan antara keduanya. Contoh model ini adalah pada bidang Natural Theology yang menyatakan bahwa bukti adanya desain pada alam semesta membuktikan adanya Tuhan, sementara Drees menyodorkan sample tentang konsep teologi evolusi ala Piere Teilhard da Chardin dan filsafat proses Alfred N. Whitehead yang dianggap telah menghasilkan konsep metafisika yang inklusif. Pada model ini posisi sains adalah memberikan konfirmasi (memperkuat atau mendukung) keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam semesta, Kendati Haught mengingatkan agar agamawan tidak membiarkan agama terlibat (intrude) dalam kerja-kerja aktual sains (the actual work of science). Lebih dari itu, posisi agama menurut Haught lebih sebagai akar epistemologis bagi penemuan ilmiah. Dengan demikian agama memberikan dasar bagi keyakinan saintis akan adanya rasionalitas dalam sains.[108]

Ontologi                                                                                  Ontologi

Epistemologi                                                                                  Epistemologi

Aksiologi                                                                                  Aksiologi

Bagan 7: Model Relasi Integrasi antara Agama dan Sains

  1. F.     Penutup

Konsep ilmu pada masa abad pertengahan dan para ilmuwan Muslim diantaranya Al Farabi, Ibnu Khaldun, Al Ghazali maupun Al Siraziy yang dibawanya pada dasarnya masih belum ada klasifikasi ilmu disatu sisi dan agama disisi lain. Klasifikasi ilmu yang diberikan para ahli pada masa ini bukan bertujuan untuk lebih mempermudah manusia dalam mempelajari ilmu agar manusia memiliki keahlian tertentu dalam disiplin keilmuan, tapi tidak menafikkan ilmu lain sehingga terjadi keseimbangan dalam dirinya yang membawa kemanfaatan. Dan inilah falsafah yang dikandung al qur’an terkait dengan ilmu sebagaimana tercermin dalam wahyu pertama surat al ‘Alaq: 1-5.

Berbagai konsep hubungan antara ilmu dan sains yang pada intinya mengericut pada empat tipologi yakni: konflik, independensi, dialog, dan integrasi merupakan sebuah pilihan yang masing-masing membawa konsekwensi dalam konseptualnya.

Tipe dialog (interelasi) merupakan upaya konsolidatif ini dilakukan agar diantara keduanya tidak menjadi instrumen dan medium percekcokan dan sumber konflik bagi kehidupan manusia, tetapi sebaliknya diupayakan menjadi sumber inspirasi untuk meningkatkan kearifan dan kesadaran dinamis dalam diri manusia dalam hubungannya dengan alam (makrokosmos) dan dalam hubungannya dengan sesama manusia (mikrokosmos) dan dalam hubungannya dengan yang Ilahy (transcendental). Dengan demikian, baik agama maupun sains sama-sama mengabdi untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran manusia.

 

Daftar Pustaka

 

Abdullah, M. Amin, 2002. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

______________. 2007. Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Cet I; Yogyakarta: Penerbit SUKA Press

al-Attas, Syed Mohd. Naquib .1984, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan)

Al-Ghazali, Imam. t.t.. Ihya’u Ulum al-Dien, (Beirut: Dar al-Fikr.)

al-Qardhawi, Yusuf. 1989. Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah.  ter. Hasan Bahri. )Bandung: Rosda Karya)

_______________. 2001. ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifah wal Hadharah” diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya).

Arief, Armai. 2005. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I, Jakarta: CRSD Press

Arifin, Zainul. Model-Model Relasi Agama dan Sains dalam http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/psikologi/article/view/353 (Diakses 15 Desember 2011)

Audah,  Ali. 1997. Konkordasi Qur’an, (Bandung: Litera antar Nusa)

Azra, Azyumardi. 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi,(Jakarta:  PT Kompas Media Nusantara)

Baali, Fuad dan Ali Wardi, 1989. Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka Firdas)

Bagir, Zainal Abidin dkk.  2009. Integrasi ilmu dan agama: interpretasi dan aksi. (Bandung: Mizan)

Bakar, Osman .1997. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan)

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Radjawali Press,). Cetakan Kedua.

Barbour, Ian. 2004. Bumi yang Terdesak, (Bandung: Mizan)

Butt, Nasim. 1996. Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung,Pustaka Hidayah).

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 1997. ‘The Concept of Knowledge in Islam and its Implication for Education in a Developing Country” diterjemahkan oleh Munir, Konsep Pengetahua dalam Islam, (Bandung: pustaka Amani)

Ensiklopedi Islam, t.th. Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Lehtiar Baru Vanhoeve,), cet. 4

Ghulsyani, Mahdi. 1989. Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,), Cetakan Kedua.

Hadi, Hardono .1994. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)  (Yogyakarta: Kanisius)

Hassan, Usman. 2003. The Concept of Ilm and Knowledge in Islam, (The Association of Muslim Scientists and Engineers).

http://id.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille (Diakses pada 12 Desember 2011)

Hunzai, Faquir Muhammad. 2005. “The Concept of Knowledge According to Al Kirmani” in (ed) Todd Lawson, Reason and Inspiration in Islam: Theology, Philosophy, and Mistism in Muslim Tought , (London: I.B. Tauris Publishers).

Ibn Ishaq, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman. 2004.“Lubbabu al-Tafsir min Ibnu Katsir” diterjemahkan oleh, M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid   (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I)

Iqbal, Muhammad. 1986. Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk, (Jakarta: Tintamas)

Jalaluddin, dan Usman Said. 1994. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan perkembangan      pemikirannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,)

Kartanegara, Mulyadhi.  2003. Menyibak Teori Kejahilan:  Pengantar Epistemologi  Islam,  (Bandung: Mizan )

kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan)

Khaldun, Ibnu. 2000. Mudaddimah, Penerj. Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Firdaus)

Kuhn, Thomas. 1988. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: CV Rosda Karya,)

Lapidus,  Ira. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Erlangga).

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina)

Mahmud, Musthafa. 2000. “Min Asraril Qur’an” diterjemahkan oleh Imron Rosadi, Rahasia dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azam)

Majid, Nurcolis. 1984. Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang).

Masruri, M. Hadi dan Rossidy, Imron,  2007, Filsafat Sains Dalam Al-Qur’an Melacak Kerangka Dasar Integrasi Sains Dan Agama, Malang: UIN-Malang Press, Cet. Pertama

Mustofa, M. Luthfi dkk. 2007. Intelektualisme Islam: Melacak Akar-Akar Integrasi Ilmu dan Agama (Malang: LKQS UIN Malang)

Muthahari, Murtadha. 2003. Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Muharram, dkk., (Jakarta: Pustaka Zahra)

Nakosteen, Mehdi. 2003. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. (Surabaya: Risalah Gusti) Cet. 2

Nasr, Seyyed Hossein, 1983, Islam Dan Nestapa Manusia Modern, ter. Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka

Nasution, Andi Hakim.  1999. Pengantar ke Filsafat Sains, (Jakarta: Lentera Antar Nusa)

Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang)

_____________. 1979. Filsafat Islam (Jakarta: UI Press)

_____________. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press)

Nizar, Samsul. 2002.Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press)

Nurdyansyah, Andi. Empat Tipologi HUbungan Sains dan Agama dalam http://andinurdiansah.blogspot.com/2010/10/empat-tipologi-hubungan-sains-dan-agama.html (Diakses 15 Desember 2011)

Qardhawy, Yusuf, 1998, As-Sunnah Sumber IPTEK dan Peradaban, penerj. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)

Raharjo Mujia dkk, 2009. Filsafat ilmu, (Malang: UIN Malang Pres)

Raharjo, M.Dawam. 1996. Ensiklopedi Al qur’an,ilm dalam al qur’an.(Jakarta: Paramadina)

Rahimah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Dalam Islam: Suatu Tinjauan Terhadap Pandangan Sayid Hussien Nasr. Dalam http://library.usu.ac.id/download/fs/arab-rahimah7.pdf (Diakses pada 20 Desember 2011)

Said, Nurman. dkk,. 2005. Sinergi Agama dan Sains, (ed) Cet I; Makassar: Alauddin Press

Sardar, Ziauddin.  1989. Sains, Teknologi Dan Pembangunan Di Dunia Islam, terj. Rahmani astuti, (Bandung, Penerbit Pustaka)

Shihab, M. Quraish. 1997. Quraish Tafsir Al-Quran Karim; Tafsir Ayat-Ayat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah)

_______________. 2007. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Teoritik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan)   

_______________. 2001, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan,)

Sholeh, Ahmad Khudlori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Pelajar),

 Sidik, Abdullah, 1984, Islam dan Filsafat (Jakarta: Triputra Masa)

Stanton, Charles Michael .1990. Higher Learning in Islam (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, INC.)

Sudjana, Eggi,  2008, Islam Fugnsional, Jakarta: PT Rajawali Press

Suprayogo, Imam. 2003, Problem Relasi Agama dan Sains di Perguruan Tinggi Islam, Telaah Sosiologi pengetahuan, Reflektika, Jurnal Keislaman IDIA Prenduan, IDIA Prenduan Sumenep Madura

Suriasumantri, Yuyun. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan)

Syaifuddin, Helmi, 2007, Problem dan Prospek Perkembangan Sains, dalam M. Luthfi Musthofa dan Helmi Syaifuddin (ed.), Intelektualisme Islam Melacak Akar-Akar Integrasi Ilmu Dan Agama, Malang: LKQS UIN Malang

Wafi, Ali Abdul Wahid. 1984.  ‘Abqariyaat Ibnu Khaldun, (Saudi Arabia: Mamlakah Al-Arabiyah As-su’udiyah).

Wibisono, Koento, 1983, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August Comte, Yogyakarta: Gadjahmada University Press

Yatim, Badri . 1996. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu, Perspektif Pemikiran Islam (Jakarta. Lintas Pustaka)  

Ziai, Hossain. 1990. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, Penerj. Afif Muhammad dan Munir, (Bandung: Zaman Wacana Ilmu)

 

 


[1] Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), hlm.124.

[2] Nurman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri (ed), Sinergi Agama dan Sains, (Makassar: Alauddin Press, 2005), Cet I.  hlm. xxxvi.

[3] Ibid., hlm. xxxvii

[4] H.M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Cet I; Yogyakarta: Penerbit Suka Press, 2007), hlm. 33.

[5] Diakui oleh Stanton, motivasi ini dapat menantang pelakunya untuk memahami ilmu secara universal.  Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, INC., 1990) Hlm. 96-97.

[6] M. Zainuddin. Filsafat Ilmu, Perspektif Pemikiran Islam (Jakarta. Lintas Pustaka. . 2006)  Hlm 96

[7] Ira Lapidus,  Sejarah Sosial Umat Islam  (Jakarta: Erlangga, 2000). Hlm. 123

[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), hal. 68

[9] Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban  (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal. 223.

[10] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,  (Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1960), hlm. 237.

[11] Imam Al-Ghazali, Ihya’u Ulum al-Dien, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 19

[12] Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: CV Rosda Karya, 1988). Hlm.

[13] Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989), Cetakan Kedua, hal. 78-82.

[14] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya…. Hlm. 23

[15] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat : Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. (Surabaya: Risalah Gusti, 2003) Cet. 2. Hlm. vii

[16] Ibid., Hlm. xi

[17] Harun Nsution, Filsafat Islam (Jakarta: UI Press, 1979). Hlm. 10

[18] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 243.

[19] Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)  (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 6-7.

[20] Syed Mohd. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984, hal. 43.

[21] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003, hal. 2.

[22] Murtadha Muthahari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Muharram, dkk., (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 314. Penjelasan senada juga bisa dibaca dalam Islam dan Sekularisme, (Bandung: Mizan, 2001). hlm. 46.

[23] Faquir Muhammad Hunzai, “The Concept of Knowledge According to Al Kirmani” in (ed) Todd Lawson, Reason and Inspiration in Islam: Theology, Philosophy, and Mistism in Muslim Tought , (London: I.B. Tauris Publishers, 2005). Hlm. 128

[24]  Ibid., Hlm. 133

[25]  Rahimah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Dalam Islam: Suatu Tinjauan Terhadap Pandangan Sayid Hussien Nasr. Dalam http://library.usu.ac.id/download/fs/arab-rahimah7.pdf (Diakses pada 20 Desember 2011). Hlm. 3

[26]   Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta: 2002, hal. 110.

[27] Imam Suprayogo, Problem Relasi Agama dan Sains di Perguruan Tinggi Islam, Telaah Sosiologi pengetahuan, Reflektika, Jurnal Keislaman IDIA Prenduan,  IDIA Prenduan Sumenep Madura: 2003, hal. 23

[28]  Nama lengkap Al Farabi adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu  desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab  dikenal sebagai Abu Nasr. Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya  Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki. Lebih lengkap tentang biografi beliau, lihat dalam Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hlm. 26. Osman Bakar, Hierarki Ilmu …Ibid., hlm. 26. Dan  Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984), hlm. 89

[29] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997,), hlm. 65

[30] Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilitation in Islam (Chicago: ABC International Group, inc., 2001) Hlm. 60-62

[31] Oesman Bakar, Hierarki Ilmu … Ibid., Hlm. 64-66

[32] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). Hlm. 139.

[33] Ali Abdul Wahid Wafi, ‘Abqariyaat Ibnu Khaldun, (Saudi Arabia: Mamlakah Al-Arabiyah As-su’udiyah, 1984). Hlm. 19.

[34]Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 46.

[35] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) Hlm. 93

[36] Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 1999) Hlm.55

[37] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka Firdas, 1989) Hlm. 41.

[38] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam. Alih bahasa oleh Ali Audah, dkk. (Jakarta: Tintamas, 1966) Hlm. 139

[39] Nurcolis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Hlm. 310).

[40] Setted Hissen Nasr (Science and civilitation in Islam  (Chicago: ABC Internati Grpup , 2001) Hlm 15

[41] Al Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Ibnu Muhammad At Thusi Al Ghazali, lahir di Thus, dekat Masyhad, Khurasan, tahun 450 H/ 1058 M, dari seorang ayah penenun wool (Ghazzal) sehingga ia dijuluki Ghazali. Lihat dalam Ahmad Khudlori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 80

[42]Al-Ghazali, Ihya` ‘Ulum al-Din, jil. I, hal. 17

[43] Ziauddin Sardar, Sains, Teknologi Dan Pembangunan Di Dunia Islam, terj. Rahmani astuti, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1989), hlm. 32

[44] Sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu Pengetahuan yang diwahyukan, misalnya Pengetahuan yang  diperoleh oleh para nabi dan rasul, dan pengetahuan yang tidak diwahyukan, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengamatan, percobaan, dan akulturasi (penyesuaian).

[45] Dari sisi ini ada dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan yang diwajibkan kepada seseorang (fardlu ‘ain) dan pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardlu kifayah).

[46] Dilihat dari fungsi sosialnya, pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitu ilmu yang terpuji, dan ilmu yang tercela

[47] Jalaluddin,  dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan perkembangan      pemikirannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 142

[48]Daftar yang paling lengkap dan juga laporan terbaik tentang karya-karya Quthb Al-Din Al-Syirazi yang pernah diberikan sejauh ini adalah daftar dan laporan dari J. T. Walbridge III. Lihat Philosophy of Quthb Al-Din Al-Syirazi:A Study in the Integration of Islamic Philosophy, tesis PhD, Harvard University (Mei, 1983), Apendiks C, hlm. 236-276

[49]Ayat yang berulang-ulang dikutip adalah ayat berikut: Dia (Allah) menganugerahkan kebijaksanaan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barang siapa yang dianugerahi kebijaksanaan itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak (Q.S. Al-Baqarah: 269).

[50]Ibid., h. 574

[51]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Ibid. Hlm. 575-576

[52]Musthafa Mahmud, “Min Asraril Qur’an” diterjemahkan oleh Imron Rosadi, Rahasia dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azam, 2000), hlm. 108

[53]Yusuf Al-Qardhawi, ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifah wal Hadharah” diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), hlm. 118

[54]Ibid., h. 119

[55]  Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, penerj. Agus Efendi, (Mizan, Bandung: 1990). Hlm. 54

[56] Yusuf Qardhawy, , As-Sunnah Sumber IPTEK dan Peradaban, penerj. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998). Hlm. 101

[57] M. Luthfi Mustofa, Tauhid: Akar Tradisi INtelektual Masyarakat Muslim dalam M. Lutfi MUsthofa, dkk (ed) Intelektualisme Islam: Melacak Akar-Akar Integrasi Ilmu dan Agama, (Malang: LKQS UIN Malang, 2007).  Hlm.12

[58]  Ibid., Hlm. 13

[59] Ibid. Hlm. 18

[60] M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains Dalam Al-Qur’an Melacak Kerangka Dasar Integrasi Sains Dan Agama, (Malang: UIN-Malang Press, Cet. Pertama, Agustus 2007), hlm. 1

[61] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 223-224

[62] Helmi Syaifuddin, Problem dan Prospek Perkembangan Sains, dalam M. Luthfi Musthofa dan Helmi Syaifuddin (ed.), Intelektualisme Islam … Ibid., hlm. 145

[63] Hal tersebut sebenarnya dapat dipahami bila dipandang dari perspektif awal mula perkembangan sains sejak masa Renaissance yang merupakan upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu Gereja dan menjadikan fakta empiric sebagai sumber pengetahuan. Lihat Eggi Sudjana, Islam Fugnsional, (Jakarta: PT Rajawali Press, 2008) hlm. 6

[64] Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August Comte, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1983), hlm. 11-13

[65] M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains Dalam Al-Qur’an Melacak Kerangka Dasar Integrasi Sains Dan Agama, (Malang: UIN-Malang Press, Cet. Pertama, Agustus 2007), hlm. 3-5

[66] Eggi Sudjana, Islam Fugnsional, (Jakarta: PT Rajawali Press, 2008) hlm. 10

[67] Seyyed Hossein Nasr, Islam Dan Nestapa Manusia Modern, ter. Anas Mahyudin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), hlm. 55

[68] Yuyun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,( Jakarta: Sinar Harapan,  1998), hlm. 147.

[69] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Radjawali Press, 2005). Cetakan Kedua, hal. 57-65

[70] Mulyadhi  Kartanegara,  Menyibak  Teori  Kejahilan:  Pengantar  Epistemologi  Islam,  (Bandung: Mizan , 2003),  hal. 1

[71]Ensiklopedi Islam, Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Lehtiar Baru Vanhoeve, t.th), cet. 4, h. 201

[72]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Teoritik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), h. 571   

[73]Ibid., h. 571-572

[74]Wan Mohd Nor Wan Daud, ‘The Concept of Knowledge in Islam and its Implication for Education in a Developing Country” diterjemahkan oleh Munir, Konsep Pengetahua dalam Islam, (Bandung: pustaka Amani, 1997), h. 66

[75]Yusuf al-Qardhawi, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah.  ter. Hasan Bahri. )Bandung: Rosda Karya, 1989), h. 1

[76]Ibid

[77] Ali Audah,  Konkordasi Qur’an, (Bandung: Litera antar Nusa, 1997). Hlm. 278-279

[78]  Ibnu Khaldun, Mudaddimah, Penerj. Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000). Hlm. 669.

[79] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk, (Jakarta: Tintamas, 1986). Hlm. 129.

[80] M.Dawam raharjo,Ensiklopedi Al qur’an,ilm dalam al qur’an.(Jakarta: Paramadina, 1996),,hlm:531

[81] Ibid, hlm:528

[82] Mujia raharjo dkk, Filsafat ilmu, (Malang: UIN Malang Pres,2009). ,hlm:5

[83]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran Karim; Tafsir Ayat-Ayat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997),  hlm. 77

[84]Ibid.,

[85]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit., h. 569

[86]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Ala Syaikh, “Lubbabu al-Tafsir min Ibnu Katsir” diterjemahkan oleh, M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid   (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004), h. 96

[87]Q.S. Al Baqarah: 30-33 yang artinya “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku lebih mengetahui  apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”

[88]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, op.cit., h. 572-573

[89] Ziai, Hossain, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, Penerj. Afif Muhammad dan Munir, (Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1990). Hlm. 13

[90] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung,Pustaka Hidayah, 1996), hal. 59.

[91] Ibid., Hlm.75

[92] Ibid.

[93] Usman Hassan, The Concept of Ilm and Knowledge in Islam, (The Association of Muslim Scientists

and Engineers, 2003), hal. 3.

[94] Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library, 1970),  hal. 21-22.

[95] Nasim Butt, op-cit, hal. 67

[96] http://id.wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille (Diakses pada 12 Desember 2011)

[97] Barbour, Ian, Bumi yang Terdesak, (Bandung: Mizan, 2004). Hal. 26

[98] M. Quraish Sihab,1994, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 2001) hal: 53.

[99] Andi NUrdyansyah, Empat Tipologi HUbungan Sains dan Agama dalam http://andinurdiansah.blogspot.com/2010/10/empat-tipologi-hubungan-sains-dan-agama.html (Diakses 15 Desember 2011)

[100] Ibid.,

[101] Ian Barbour, Bumi yang Terdesak... hal. 26

[102] Zainul Arifin, Model-Model Relasi Agama dan Sains dalam http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ psikologi/article/view/353 (Diakses 15 Desember 2011)

[103] Ian Barbour, Bumi yang Terdesak... hal. 26

[104] Ian Barbour, Bumi yang Terdesak... hal. 27

[105] Zainal Abidin Bagir, dkk.  Integrasi ilmu dan agama: interpretasi dan aksi. (Bandung: Mizan, 2009). Hal.22

[107] Zainal Abidin Bagir,Jarot Wahyudi,Afnan Anshori, Ibid. Hlm. 22.

[108] Ian Barbour, BUmi yang terdesak. hlm. 26


Kategori